DWG bentukan AFP ini terdiri atas berbagai elemen masyarakat seperti Badan Permusyarawatan Desa, Kepala Desa, PKK, bidan desa, Kaur Kesra, PPKBD, PLKB, tokoh agama (Toga/Toma), hingga Babinsa untuk mengidentifikasi dan memetakan persoalan yang dapat menghambat maupun memperlancar program KB di wilayah mereka.
Setelah persoalannya dipetakan oleh DWG, kemudian DWG membentuk Tim Pokja (Kelompok Kerja) di masing-masing desa. Komposisi Tim Pokja Desa juga tidak berbeda dengan DWG, namun mereka punya tanggung jawab langsung terhadap masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Any menambahkan, kini 100 persen desa di Karanganyar atau 162 desa telah memiliki Tim Pokja Desa. Padahal pilot project AFP awalnya hanya ditujukan untuk 4 desa saja, yaitu di Kecamatan Tasikmadu (Karangmojo dan Buran) dan Kecamatan Kebakkramat (Alastuwo dan Kaliwuluh).
Namun hanya dalam kurun 2-3 tahun, seluruh desa di Karanganyar telah membentuk Tim Pokja Desa berikut mengalokasikan dana desa untuk KB. Diakui Any, mereka juga memanfaatkan momentum setelah disahkannya Undang-undang Nomor 6/2014 tentang Desa.
Data BP3AKB tentang kepesertaan KB sebelum dan sesudah diadvokasi oleh AFP (Foto: Rahma LS) |
Baca juga: Ini yang Bikin Karanganyar Jadi Percontohan Program Keluarga Berencana
"Orang mengira dana desa itu hanya untuk infrastruktur dll. Tapi nyatanya setelah kita advokasi itu bisa dialokasikan untuk KB," timpal Inne Silviane, Direktur Eksekutif YCCP kepada wartawan dalam kesempatan terpisah.
YCCP selaku implementing unit AFP di Indonesia mengaku mempunyai indikator tersendiri untuk menentukan sasaran advokasinya. Diterangkan Inne, ada beberapa indikator yang mereka gunakan. Pertama, daerah di mana banyak terjadi unmeet need terkait layanan KB, yaitu pasangan yang tidak ingin menambah keturunan tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi.
"Atau pasangan usia subur yang tidak ingin anak. Berarti kan kans untuk kebobolannya tetap tinggi, termasuk untuk mereka yang udah nggak mau," jelasnya.
Pemasangan KB implan di Puskesmas Tasikmadu (Foto: Rahma LS) |
Kemudian, jumlah anak per keluarga yang tinggi, lalu tidak adanya akses pada layanan kontrasepsi. Menurut Inne, akses adalah persoalan yang banyak mereka temui di sebagian besar wilayah di Indonesia.
Ditambahkan Elfira Nacia, Monitoring and Evaluation Officer YCCP, daerah dengan anggaran untuk KB yang kecil dan daerah dengan angka pernikahan remaja yang tinggi juga masuk dalam perhitungan AFP. Akan tetapi keputusan akhir untuk menentukan mana daerah yang perlu diadvokasi atau tidak sangat bergantung pada 'keunikan' kondisi masing-masing daerah.
"Seperti Bengkayang itu PLKB-nya tidak ada tapi komitmen pemdanya bagus. Pontianak juga udah bagus kepesertaan dan fasilitasi KB-nya tapi ditunjang komitmen swastanya juga bagus, kita cari apa yang kurang. Tetapi tidak ada pola khusus," terangnya.
Baca juga: Sukses Gelorakan KB, Karanganyar Jadi Tujuan Studi Banding
Selain Karanganyar, empat kabupaten/kota lain yang menjadi pilot project AFP adalah Pontianak, Karawang, Bandung dan Bogor. Mulai tahun ini, YCCP telah memperluas jangkauan advokasinya ke kabupaten/kota lain seperti Lumajang, Bengkayang dan Kuningan.
"Tahun depan kita terpikir (menyasar, red) ke daerah-daerah kepulauan dan perbatasan seperti Kapuas Hulu, Tual, yang nggak tersentuh KB-nya," imbuh Inne.
(lll/vit)












































Data BP3AKB tentang kepesertaan KB sebelum dan sesudah diadvokasi oleh AFP (Foto: Rahma LS)
Pemasangan KB implan di Puskesmas Tasikmadu (Foto: Rahma LS)