"Pada suatu pagi saya batuk terus hingga keluar darah sedikit jadi sorenya ke klinik. Sampai di klinik saya rontgen dan positif TB terus disuruh minum obat dengan pesan dokter 'kalau obatnya habis balik lagi'. Saya minum sampai bulan keempat terus merasa sehat. Sebagai masyarakat awam dengan pesan dokter seperti itu saya nggak balik lagi," kenang Budi ketika ditemui pada seminar Hari TB Sedunia, RS Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (24/3/2016).
Karena pengobatannya tak diikuti hingga habis inilah kemudian jadi penyebab selang dua tahun kemudian TB Budi kembali kambuh. Ketika itu juga ia kembali menemui dokter dan mendapatkan pengetahuan yang lebih lengkap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Livernya kena gangguan, masuk rumah sakit, dan katanya pengobatan TB harus dihentikan. Setelah sembuh saya jadi ketakutan untuk lanjutin pengobatan TB, takut sakit lagi, akhirnya nggak berobat-berobat," kata Budi yang berdomisili di Bogor.
Digerogoti penyakit, berat tubuh Budi berkurang drastis hingga tersisa sekitar 40 kilogram. Berkat dorongan keluarga ia pun akhirnya melanjutkan pengobatan TB di RS Cisarua selama dua tahun. Hanya saja kali ini ada yang aneh karena meski diberikan obat bermacam-macam hasil laboratorium tak menunjukkan adanya perkembangan.
Hasil tes laboratorium yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) kemudian membawa kabar bahwa penyakitnya telah berkembang menjadi MDR-TB. Bentuk lebih lanjut dari TB yang kebal beberapa jenis obat umumnya hingga perlu obat antibiotik yang efek sampingnya jauh lebih keras lagi.
Baca juga: Kena TB Sejak Usia 10 Tahun, Begini Upaya Ully Hingga Sembuh Total
Budi pun akhirnya dirujuk ke RS Persahabatan sebagai pusat paru nasional untuk menjalani program terapi MDR-TB. Di sana dalam kurun waktu hampir dua tahun ia harus menelan 26 butir obat secara rutin setiap hari di bawah pengawasan ketat petugas kesehatan.
"Tahun 2011 saya mulai pengobatan. Saya ngontrak nggak pulang Jakarta-Bogor dikarenakan saya tahu kalau sampai tertular sama anak, sama istri, ini bakal bagaimana. Karena buat saya sendiri saja ini suatu siksaan," kata Budi.
"Bayangkan sesuatu yang enggak enak harus kita ulang setiap hari. Mulai muntah, pusing, sampai enggak bisa tidur setiap malam itu saya alami. Saya pernah mabuk laut terus mual, itu tuh belum seberapa dibandingkan mualnya obat TB-MDR," tambahnya.
Kegigihan Budi untuk mengikuti program hingga tuntas mulai terkikis. Penderitaan dari efek samping obat yang harus dialami setiap hari ditambah ada beberapa teman sesama pasien akhirnya meninggal 'kewalahan' karena penyakit TB-MDR beberapa kali membuat Budi sampai pada satu titik di mana ia ingin menyerah.
"Saya cuma SMS istri saya 'udah ah enggak mau minum obat males'. Enggak lama aja telepon saya berdering anak saya yang nyuruh minum obat. 'Ayo Ayah minum obat yah, buat Bagas,'" ujar Budi.
"Saya minum. Saya mau sehat ngeliat anak saya tumbuh besar. Dulu itu yang ada di pikiran saya umur nggak lama, dokter bahkan pernah bilang nggak lebih dari dua tahun," lanjut Budi dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
Berkat dorongan semangat moral berbagai pihak Budi pun terus rutin melanjutkan pengobatan. Hingga akhirnya pada 14 April 2013, sekitar 19 bulan sejak awal pengobatan, akhirnya paru-paru Budi dinyatakan bersih dari TB.
"Allah berkata lain. Saya bisa. Saya mampu. Terus terang ini perjalanan yang paling berat dalam hidup saya. Lihat beberapa teman kita gugur, meninggal, saya nggak mau," tutupnya.
Baca juga: 7 Orang Pegawai Kebun Binatang Terinfeksi Tuberkulosis dari Gajah
(fds/vit)











































