Febri mengisahkan, ketika dirinya menjadi praktisi, cukup banyak kliennya yang merupakan penyandang autisme. Tak jarang, wanita yang baru saja menyelesaikan studinya di University of Queensland ini bisa merasakan apa yang dialami orang tua si pasien.
"Aku merasakan sendiri ketika ibu pasien datang ke meja aku dan nangis-nangis. Dan inilah yang membuat aku jadi punya passion untuk riset di bidang ini. I really want to provide better things," ungkap Febri ketika berbincang dengan detikHealth.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca Juga: Ketika Curahan Hati Remaja dengan Autisme Dituangkan dalam Buku Cerita
Febri menuturkan, riset mengenai autisme di Indonesia masih sangat kurang. Padahal menurutnya, penting sekali untuk tahu bukti-bukti di lapangan tentang penanganan autisme. Menurut Febri, minimnya bukti-bukti di lapangan membuat suatu ketidakpuasan muncul pada dirinya saya menjadi praktisi di bidang autisme ini.'
"Saya juga berharap studi saya ini akan menimbulkan support government yang efektif, dan lebih mengena pada sasaran. Selain itu, saya juga berharap akan muncul kerjasama di universitas yang memberikan saran praktis ke government berdasarkan riset lapangan dan bisa diambil kebijakan strategis," ungkapnya.
Selain itu, ia berharap bisa tersedia lebih banyak dana yang bisa dipakai untuk riset di bidang autisme dan juga penanganan anak dengan autisme supaya penanganan yang diberikan semakin efektif. Melalui studi yang ia lakukan, Febri juga berharap di tingkat universitas, para mahasiswa terutama jurusan kedokteran serta terapi diperkenalkan dengan autisme.
Dengan begitu, diharapkan mereka minimal bisa melakukan skrining dan tidak cuma di Jakarta tapi juga di seluruh Indonesia. Dihubungi terpisah, Prof Irwanto mengungkapkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan mental anak bisa lebih baik. Sebab, jika masalah kesehatan mental anak telat ditangani, perkembangan anak tidak akan pernah terjadi.
"Anak tidak akan masuk masa produktif. Maka, diharapkan ada investasi untuk melihat kelebihan dari kekurangan yang dialami anak," ujar Prof Irwanto yang juga pendiri Olifant Primary School di Yogyakarta.
Prof Irwanto juga mengatakan masalah kesehatan mental anak pastinya juga berdampak pada keluarga. Untuk itu, ia menekankan pentingnya melihat faktor-faktor makro di luar si anak itu sendiri yang besar kemungkinannya berkontribusi pada tingginya risiko autisme.
"Misal food poisoning, bisa jadi akan memengaruhi janin. Tapi saat ini, justru kita tidak begitu peduli terhadap keamanan makanan. Sehingga, dibutuhkan orang yang punya visi" kata Prof Irwanto.
Baca Juga: Mengharukan! Puisi Curahan Hati Bocah 10 Tahun dengan Sindrom Asperger
(rdn/vit)











































