Berdasarkan pengalaman dr I Gusti Ayu Nyoman Partiwi SpA atau lebih akrab disapa dr Tiwi, bayi yang umumnya butuh donor ASI adalah mereka yang terlahir dalam keadaan prematur atau sebelum waktunya.
"Kemudian bayi kembar dua atau tiga, semisal dari bayi tabung karena susah untuk memberikan ASI eksklusif," paparnya saat berbincang dengan detikHealth.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Menerima ASI Donor
Ketiga, bilamana ibunya mengalami preeklampsia sehingga tidak menghasilkan ASI yang memadai untuk si buah hati atau ibu yang mengalami kejang. Selain itu, bayi dengan ibu yang sakit seperti HIV juga membutuhkan donor ASI, semisal di negara-negara Afrika atau di wilayah Papua di mana kejadian HIV-nya tinggi.
Dokter yang juga aktif lewat akun Twitter @drtiwi itu pun mengingatkan, menurut ketentuan UNAIDS, WHO dan UNICEF, ibu yang terinfeksi HIV tetap dianjurkan menyusui eksklusif selama 6 bulan, kecuali jika pengganti ASI telah memenuhi kriteria AFASS (Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable dan Safe).
"Jadi harus harga terjangkau, dan safe maksudnya airnya bersumber dari air yang bersih, atau sustain artinya barang tidak susah dicari. Tapi kalau di daerah kayak Papua, ini mungkin tidak bisa terpenuhi," paparnya.
Ketika dihadapkan pada situasi tersebut, maka kebijakannya adalah tetap memberikan ASI kepada buah hatinya sendiri, asalkan pasangan ibu dan anak ini sama-sama diberi ARV (antiretroviral).
"Tapi kalau kita bandingkan dengan di Jakarta atau di daerah, di mana orang tuanya mampu untuk melakukan ini (pengganti ASI, red) dan pilihannya hanya karena ada risiko, jadi lebih baik tidak diberi ASI," tegasnya.
Baca juga: Bolehkah Ibu dengan HIV-AIDS Menyusui Bayinya
Secara umum, bila dihadapkan pada kasus di mana seorang bayi kurang mendapat asupan ASI karena alasan medis semacam ini, dr Tiwi lebih memilih untuk mengombinasikan ASI ibunya dan memberi susu formula tetapi hanya dalam jumlah terbatas.
"Menggunakan ASI donor untuk bayi-bayi yang lebih kecil juga bisa. Biasanya saya memilihkan ibu mana yang bisa menjadi donor. Saya lihat sampai latar belakang keluarga pendonor atau partner seksualnya, di samping hasil pemeriksaan lab ibu pendonor," ungkapnya. (lll/vit)











































