Seperti penuturan pakar Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor Prof Dr Ir Purwiyatno MSc, sering kentut setelah makan ubi terjadi karena memang karakter pati dari ubi sulit untuk dicerna. Sehingga, di dalam usus akan tumbuh bakteri yang memicu gas hingga terjadi flatulensi (kentut).
"Hal ini memang termasuk pendapat umum, sebetulnya nggak selalu makan ubi itu menyebabkan kentut. Pertama, kondisi orang masing-masing beda. Dan di Indonesia sendiri, ada juga beberapa varietas ubi yang jika dikonsumsi nggak menyebabkan masalah itu," terang Prof Pur dalam Temu Media di Penang Bistro, Pakubuwono, Jakarta Selatan, Senin (5/9/2016).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Makan Ubi Lebih Sehat Dibanding Makan Nasi
Secara teori, lanjut Prof Pur, semakin lama dimasak maka pati dalam ubi terglutenisasi. Seperti diketahui, penurunan zat gizi tetap terjadi ketika ubi diolah. Sehingga, disarankan untuk mengolah ubi dengan direbus atau dikukus karena pengurangan zat gizi yang terjadi sekitar 30 persen. Proporsinya berbeda ketika ubi digoreng atau dipanggang yang bisa mengalami penuruan zat gizi 40 dan 60 persen.
Dalam menyimpan ubi, Prof Pur menyarankan taruh ubi di suhu ruang dan tempat terang. Sebab, kondisi gelap akan menyebabkan tunas tumbuh di ubi. Jika sempat, sesekali jemur ubi karena bisa membuat ubi mengalami proses pengeringan hingga kandungan airnya berkurang, gula meningkat sehingga rasanya lebih manis, dan teksturnya berbeda.
"Kalau disimpan begitu bisa tahan sampai satu minggu. Kalau tumbuh tunas, potong saja tunasnya terus sisanya diolah. Kecuali sampai warnanya berubah drastis kemudian baunya busuk ya buang saja, tidak bisa dipakai lagi itu ubinya," kata Prof Pur.
Baca juga: Umbi-umbian Lebih Bergizi Dibanding Makanan ala Barat
(rdn/vit)











































