Prof Hasbullah yang kini menjabat sebagai ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial, Universitas Indonesia, punya pengalamannya sendiri soal konsumsi dan harga rokok. Pada tahun 1970-1980 ia merupakan seorang mahasiswa kedokteran yang pada saat itu ilmu medis memang belum cukup memahami efek-efek negatif rokok.
"Saya itu dulu juga perokok waktu di California kuliah dokter. Ilmunya memang belum cukup, baru tahun 70an baru teridentifikasi bahaya-bahayanya. Jadi waktu tahun 1988 saya masih mikir-mikir berhenti atau enggak," kenang Prof Hasbullah ketika ditemui di hotel Amaris, Bogor, Jumat (30/9/2016).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Belasan Tahun Jadi Perokok Berat, Begini Kisah Bupati yang Kini Stop Ngebul
Prof Hasbullah mendapat beasiswa untuk kuliahnya sehingga uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari tak menjadi masalah. Namun ketika ilmu berkembang dan bahaya rokok diketahui, pemerintah setempat bereaksi cepat menaikkan harga sebagai upaya mengendalikan konsumsi.
"Ada referendum diminta persetujuan penduduk California ditambahin pajak 25 sen yang kelebihannya itu untuk menjamin orang-orang tidak mampu berobat," kata Prof Hasbullah.
Pada saat itu dirinya benar-benar terdesak dalam pilihan sulit. Ia merasakan sendiri bagaimana harga dapat menjadi instrumen efektif yang memengaruhi keputusannya untuk berhenti merokok.
"Rokok kretek harganya 4 dolar satu bungkus yang waktu tahun 1988 harga segitu itu sama kaya makan siang dan malam saya. Saya dipaksa untuk berhenti dan alhamdulillah bisa," kata Prof Hasbullah.
"Semua negara tidak ingin anak-anak mudanya mengonsumsi rokok. Sekarang bagaimana komitmen dari pemerintah kita," pungkasnya.
Baca juga: Kerusakan DNA Akibat Asap Rokok Bertahan Hingga 30 Tahun Lebih (fds/vit)











































