Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr Eka Viora, SpKJ, mengatakan bila dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat misalnya masalah kesehatan jiwa diterima luas masyarakat. Minim diskriminasi dan orang tidak malu untuk berobat ke dokter jiwa.
"Saya dulu tahun 2013 pernah didadili di Jenewa oleh komisi internasional tentang hak asasi manusia (HAM). Mereka lihat ada yang dipasung segala macam dan saya ditanya 'dari Indonesia berita seperti ini sudah sering muncul. Apa yang salah dengan Anda? Kok bisa terjadi pelanggaran hak asasi seperti ini?" kenang dr Eka yang pada saat itu menjabat sebagai direktur kesehatan jiwa Kementerian Kesehatan RI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama karena masih ada stigma kuat dari masyarakat sendiri sehingga pengobatan dan pelanggaran HAM terjadi. Stigma diberikan tidak hanya pada pasien saja tetapi juga pada kerabat bahkan hingga ke petugas kesehatannya.
Baca juga: Bukan Masalah Kuat Lemahnya Karakter, Siapa Saja Bisa Kena Gangguan Jiwa
Kedua akses masyarakat terhadap layanan kesehatan jiwa minim. Tidak banyak tenaga kesehatan yang khusus menangani kejiwaan tersedia di daerah-daerah. Pada akhirnya karena fasilitas kesehatan tak dapat membantu maka pasien gangguan jiwa umumnya dibawa ke dukun atau pengobat tradisional sehingga makin memperburuk kondisi dan menguatkan stigma.
"Kualitas pelayanan kesehatan jiwa kita juga banyak yang kurang. Panti dan rumah sakit jiwa kita kualitasnya banyak yang melanggar HAM karena anggarannya tidak ada. Seperti panti di Cengkareng itu kapasitasnya hanya 100 atau 200 orang tapi diisi 600 sampai 700 ya pasti kaya sarden," papar dr Eka.
Pilar terakhir dan yang paling penting adalah edukasi kesehatan jiwa masih minim. Stigma dan mitos tentang kesehatan jiwa dapat dilacak sumbernya dari pemahaman masyarakat yang tidak mengerti apa itu gangguan jiwa dan bagaimana menghadapinya.
"Kita itu tidak punya program edukasi promotif kesehatan jiwa komprehensif yang bisa dilakukan multi disiplin. Begitu ada masalah yang mereka tidak punya pengetahuan ya itu tadi kembali ke mitos-mitos atau budaya yang mengatakan 'oh ini kutukan' atau hal-hal gaib seperti itu," pungkas dr Eka.
Baca juga: Kenali, Risiko Ibu Depresi Bisa Terlihat Sejak Kehamilan
(fds/vit)











































