Theory of Everything: Kisah Ahli Fisika yang Lumpuh

Cinemathoscope

Theory of Everything: Kisah Ahli Fisika yang Lumpuh

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Jumat, 13 Jan 2017 10:41 WIB
Theory of Everything: Kisah Ahli Fisika yang Lumpuh
Foto: YouTube
Jakarta - Mendengar nama Stephen Hawking, yang terlintas dalam benak banyak orang adalah seorang fisikawan. Spesialisasinya adalah Lubang Hitam (Black Hole). Tetapi hidup si jenius ini penuh dengan lika-liku karena penyakit yang menyerangnya di usia muda.

Stephen mengambil program doktoral di usia yang masih muda, 20 tahun, dengan tema yang tidak lazim, yaitu kosmologi. Karena kacamatanya, orang mengira ia adalah pria cupu.

Namun dalam sebuah pesta, seorang mahasiswi jurusan seni bernama Jane Wild justru tertarik kepadanya. Keduanya langsung cocok, dan saat Stephen mengundang Jane untuk menjadi partner di pesta dansa universitas, ia pun mengutarakan perasaannya.
Theory of Everything: Kisah Ahli Fisika yang LumpuhFoto: YouTube

Hingga suatu ketika kelas Stephen mendapatkan tugas yang cukup sulit dari pengajarnya. Teman sekamarnya, Brian sudah kebingungan mengerjakan tugas itu sejak sepekan yang lalu, tetapi lain halnya dengan Stephen. Ia justru bangun kesiangan saat tugas itu harus dikumpulkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan masih mengenakan piyama, ia mencoba membaca daftar soal tersebut. Namun saat ingin minum, ia justru menumpahkan cangkir berisi air di atas mejanya. Stephen akhirnya bisa masuk ke kelas, tetapi tugasnya dikerjakan di atas leaflet kereta api. Meski begitu, jawaban Stephen membuat profesornya terkagum-kagum.

Setelah itu, Stephen diajak bicara empat mata oleh sang profesor. Ia mengakui kemampuan anak didiknya tersebut, hanya saja hingga saat ini Stephen belum memiliki tema untuk tesis doktoralnya. Saat diajak bicara itu, pena miliknya terjatuh tetapi ia kesulitan mengambilnya.

Untuk memberikan inspirasi pada muridnya itu, sang profesor mengajak Stephen menghadiri sebuah kuliah umum terbatas di London. Dari situ ia memang menemukan teori pembentukan alam raya, bahwa jagat raya berasal dari Lubang Hitam yang meledak. Gagasan ini disambut positif oleh sang profesor, namun ia meminta untuk dibuatkan persamaannya.

Masih bersemangat, ia pun mulai mengerjakan persamaan itu di papan tulis. Entah mengapa tulisan Stephen di papan tulis terlihat seperti bergerigi, seolah-olah pria muda ini tak biasa menulis. Tangannya pun gemetaran saat menulis. Hingga akhirnya kapur itu terlepas dari cengkeraman jari-jarinya.
Theory of Everything: Kisah Ahli Fisika yang LumpuhFoto: YouTube

Stephen mulai merasakan ada keanehan pada dirinya, tetapi ia tak terlalu ambil pusing. Hingga suatu saat Stephen berjalan di tengah kampus. Tiba-tiba saja ia terjatuh ke atas paving hingga pelipisnya memar karena kerasnya benturan. Saat itu Stephen juga tak bisa bangkit sediri.

Apa yang terjadi pada Stephen?

1. Diagnosis yang 'Melumpuhkan'

Foto: YouTube
Sesampainya di rumah sakit, ia langsung menjalani serangkaian tes. Selain diambil cairan otaknya, Stephen juga dites kekuatan fisiknya semisal mendorong tubuh dokter dengan kakinya. Tes lainnya adalah memasang jepit jemuran ke seutas tali, dan Stephen tak begitu lancar melakukannya.

Akhirnya Stephen didiagnosis mengidap sebuah kondisi yang oleh dokter disebut 'motoric neuron disease'. Menurut dokter, penyakit ini menghancurkan sel-sel di dalam otak, utamanya yang bertugas mengatur aktivitas otot tubuh. Untuk itu kemampuan motorik seperti bicara dan berjalan akan terganggu.

Namun dokter mengatakan penyakit ini bersifat progresif dan tidak ada obatnya, bahkan Stephen telah divonis hanya hidup paling lama dua tahun. Setidaknya Stephen sedikit lega karena otaknya tidak terpengaruh oleh penyakit itu. Meski begitu, diagnosis ini sempat membuat Stephen menyendiri, bahkan panggilan dari Jane tidak dijawab olehnya.

Jane pun mencari Stephen di bar tempat ia biasa nongkrong dengan teman-temannya, tetapi hanya bertemu Brian. Brian kemudian menjelaskan apa yang terjadi pada Stephen. Dengan berbekal penjelasan itu, Jane kembali ke asrama kekasihnya dan mencoba membujuknya untuk bermain kriket.

Karena diancam tak bisa bertemu lagi dengan Jane jika ia tak mau bermain kriket, Stephen pun menuruti kemauan Jane. Dari situ Jane tahu bahwa Stephen berjalan terseok-seok, tetapi ia tetap berusaha mengejar dan memukul bola. Begitu juga dengan tangannya yang tampak lemah lunglai.

Stephen lama-lama tak tahan lalu meminta agar Jane meninggalkan dirinya. Namun Jane berhasil meyakinkan Stephen bahwa ia mencintainya dan mereka akan menghadapi kondisi pria itu bersama-sama.

Selepas menikahi Jane, semangat Stephen untuk mengerjakan tesis doktoralnya pun kembali. Ia pun mendapatkan gagasan untuk tema tesisnya, yaitu waktu (time). Mereka tinggal bersama di sebuah flat dua lantai, dan Stephen sama sekali tak terganggu meski harus naik turun tangga dengan 'merambat' menggunakan tubuhnya.

Cara bicaranya pun mulai cadel, meski masih bisa didengar. Ia juga harus berjalan dengan alat bantu tongkat. Awalnya hanya satu, lama-kelamaan menjadi dua. Selama masih bisa, Stephen juga berusaha untuk melakukan sesuatu seorang diri, sebab Jane juga mengurus anak pertama mereka, Robert.

Theory of Everything: Kisah Ahli Fisika yang LumpuhFoto: YouTube


Usaha Stephen tak sia-sia, dan gelar Doktor kini sudah ada di tangannya. Dengan gelar itu ia berharap bisa menemukan sebuah persamaan sederhana dan elegan yang dapat menjelaskan bahwa waktu (time) memiliki awal mula (beginning). Dengan persamaan itu, ia bisa saja menemukan penjelasan dari berbagai hal yang terjadi di muka bumi.

Namun kebahagiaan karena mengantongi gelar Doktor tidak begitu dirasakan Stephen karena fisiknya semakin lumpuh. Ia kesulitan saat makan bersama teman-temannya di pesta kelulusannya. Ia juga harus berupaya sekuat tenaga hanya untuk menaiki tangga menuju ruang tidur yang ada di lantai atas. Jane pun berinisiatif membelikan kursi roda pertama untuk Stephen.

Setelah anak kedua mereka, Lucy lahir, Stephen berhasil menemukan Hawking Radiation, radiasi yang diprediksi dilepaskan oleh Lubang Hitam ketika mendekati horizon. Menariknya, teori ini terlintas di benak Stephen saat ia dipakaikan sweater oleh Jane. Namun di saat itu tiba-tiba Lucy menangis, hingga Jane terpaksa meninggalkan Stephen yang terjebak di dalam sweater dan menenangkan putri mereka.

Kebetulan Stephen terduduk di depan perapian. Saat menatap bayangan perapian dari balik sela-sela sweater rajutan itu, ia melihat seolah-olah Lubang Hitam berpendar dan mengeluarkan cahaya radiasi.

Karenanya, karir Stephen semakin membaik dan ia mulai dikenal luas sehingga mereka bisa pindah ke rumah yang lebih besar.

Jane juga membelikan Stephen kursi roda elektrik yang bisa dikendalikan dengan mudah karena tak perlu didorong. Hal ini memudahkan mobilitas Stephen. Namun ada yang berubah dari diri Jane. Apakah itu?

2. Konflik Jane

Foto: YouTube

Masih ingat ketika Jane harus menunda untuk menyelesaikan kuliahnya karena menikah dan mengurus Stephen serta kedua buah hati mereka? Begitu kedua anak mereka sudah masuk usia sekolah, Jane nampaknya mulai kewalahan.

Di sela-sela mengurus rumah, ia berupaya menyalin tugasnya tetapi pekerjaan itu seolah tak pernah selesai. Saat berkumpul dengan ayah ibu Stephen, suaminya tersedak. Menurut Jane, hal ini sudah sering terjadi namun Stephen tak pernah mau dibawa ke dokter spesialis.

Melihat Jane tampak stres, sang ibu mertua kemudian menyarankan agar ibu dua anak ini mengikuti latihan paduan suara di gereja. Toh latihan itu hanya berlangsung selama satu jam untuk setiap pekannya. Di sinilah ia bertemu Jonathan, si pelatih paduan suara.

Pria ini tak hanya mau memberi kursus piano kepada Robert, ia juga siap membantu tiap kali keluarga Stephen membutuhkannya. Namun begitu anak ketiga Stephen dan Jane, Timothy, lahir, kecurigaan sempat muncul jika Timothy adalah anak Jonathan.

Karena malu, Jonathan pun enggan memberikan bantuan lagi kepada keluarga Stephen, kendati ia dan Jane sama-sama saling menaruh hati. Namun atas bujukan Stephen, Jonathan akhirnya luluh. Kebetulan saat itu ia mendapat undangan untuk menonton konser komposer kesayangannya di Bordeaux, Prancis.

Tahu Jane benci naik pesawat, ia meminta Jane untuk pergi ke Bordeaux bersama Jonathan dengan naik mobil. Ia juga meminta Jane mengajak anak-anak berkemah terlebih dahulu sebelum kemudian menjemput Stephen di Bordeaux.

Tak tahunya di tengah pertunjukan Stephen tersedak sekali lagi, tetapi kali ini yang keluar adalah darah. Mahasiswi yang mendampinginya lantas memanggil ambulans dan Stephen dinyatakan koma di rumah sakit.

Kepada Jane, sang dokter mengatakan jika Stephen terserang pneumonia atau radang paru-paru dan ia hanya bisa hidup dengan bergantung pada mesin ventilator. Dokter juga tak yakin berapa lama lagi Stephen bisa bertahan.

Namun Jane bersikeras agar tim dokter membangunkan Stephen kembali, meski satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah tracheotomy, di mana tenggorokan Stephen diangkat dan ia takkan bisa bicara lagi. Operasi akhirnya dilaksanakan di Cambridge dan berhasil.

Seperti apa hidup Stephen setelah tak lagi bisa berbicara? Apakah ia menyerah begitu saja?

Theory of Everything: Kisah Ahli Fisika yang LumpuhFoto: YouTube

3. Dikenal Makin Luas Berkat Buku Fenomenal

Foto: YouTube
Bisa dibilang kebangkitan Stephen lagi-lagi karena kegigihan Jane untuk terus membuatnya bertahan. Dalam proses pemulihan, Jane kemudian mengajari Stephen 'bicara' dengan papan pengeja.

Ia hanya perlu berkedip ketika Jane menyebutkan warna dari huruf yang diinginkan Stephen. Karena Jane harus mengurus pekerjaan Stephen juga, ia pun akhirnya mencarikan perawat khusus untuk suaminya, namanya Elaine.

Sejak pertemuan pertama mereka, Stephen merasakan kecocokan yang kuat pada Elaine, apalagi mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Tanpa menggunakan papan pengeja pun Elaine juga langsung tahu apa yang diinginkan Stephen.

Bersamaan dengan itu, Stephen dibuatkan kursi roda khusus yang bisa diatur tinggi dan sudutnya. Kursi roda ini juga dilengkapi komputer yang bisa 'berbicara' mengikuti instruksi dari Stephen. Saat itulah ia menulis buku A Brief History of Time yang masih laris, bahkan hingga saat ini.

Buku itu juga memberikan kebahagiaan tersendiri bagi Jane karena sang suami akhirnya mengakui keberadaan Tuhan lewat tulisannya. Ia pun diundang memberikan kuliah umum di berbagai tempat, termasuk di AS.

Berkat kejeniusannya itu, ia pun dipanggil menghadap Ratu Inggris dan dianugerahi gelar kebangsawanan, meski kemudian ia tolak.

Sayangnya, kedekatan Elaine dengan Stephen membuat pria ini berjarak dengan wanita yang selama ini setia mendampinginya, Jane. Akhirnya keduanya berpisah baik-baik dan Jane kembali pada Jonathan.

Kondisi yang dialami Stephen saat itu masih tergolong langka. Tetapi dewasa ini pemahaman masyarakat tentang adanya ALS menjadi semakin luas, apalagi semenjak tren Ice Bucket Challenge yang dilakukan sejumlah pesohor dunia.

ALS mulai dikenal luas sejak menimpa pemain baseball terkenal di AS bernama Lou Gehrig, hingga namanya diabadikan sebagai alias dari ALS, yaitu Lou Gehrig's Disease. Malangnya Lou juga akhirnya menghembuskan napas terakhir akibat penyakit ini.

ALS sendiri biasanya dimulai dengan gejala seperti otot kedutan, tangan/kaki terasa lemah atau cara bicara seperti cadel meski masih bisa didengar. Orang-orang dengan ALS juga cenderung sering jatuh dan pada akhirnya kesulitan untuk mengangkat kepalanya sendiri maupun mempertahankan postur tubuh yang ideal.

Sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti apa penyebab ALS, namun sebagian kasus memperlihatkan ada kecenderungan genetik di balik kondisi ini.

Selain genetik, faktor risiko lain dari ALS adalah orang dengan usia tertentu, utamanya mereka yang memasuki usia 40 tahun. Seperti halnya Lou dan Stephen, pria memang lebih besar peluangnya untuk terserang ALS.

Yang perlu diperhatikan adalah komplikasi akibat ALS. Dewasa ini sudah banyak teknologi yang bisa membantu pasien ALS agar tetap beraktivitas seperti biasa, namun komplikasi tetap sulit untuk dihindari. Salah satu yang paling menonjol adalah gangguan pernapasan karena ALS melumpuhkan otot-otot saluran pernapasan. Hal ini juga terjadi pada Stephen. Kegagalan sistem ini juga menjadi penyebab utama mayoritas kasus kematian pada pasien ALS.

Halaman 2 dari 4
Sesampainya di rumah sakit, ia langsung menjalani serangkaian tes. Selain diambil cairan otaknya, Stephen juga dites kekuatan fisiknya semisal mendorong tubuh dokter dengan kakinya. Tes lainnya adalah memasang jepit jemuran ke seutas tali, dan Stephen tak begitu lancar melakukannya.

Akhirnya Stephen didiagnosis mengidap sebuah kondisi yang oleh dokter disebut 'motoric neuron disease'. Menurut dokter, penyakit ini menghancurkan sel-sel di dalam otak, utamanya yang bertugas mengatur aktivitas otot tubuh. Untuk itu kemampuan motorik seperti bicara dan berjalan akan terganggu.

Namun dokter mengatakan penyakit ini bersifat progresif dan tidak ada obatnya, bahkan Stephen telah divonis hanya hidup paling lama dua tahun. Setidaknya Stephen sedikit lega karena otaknya tidak terpengaruh oleh penyakit itu. Meski begitu, diagnosis ini sempat membuat Stephen menyendiri, bahkan panggilan dari Jane tidak dijawab olehnya.

Jane pun mencari Stephen di bar tempat ia biasa nongkrong dengan teman-temannya, tetapi hanya bertemu Brian. Brian kemudian menjelaskan apa yang terjadi pada Stephen. Dengan berbekal penjelasan itu, Jane kembali ke asrama kekasihnya dan mencoba membujuknya untuk bermain kriket.

Karena diancam tak bisa bertemu lagi dengan Jane jika ia tak mau bermain kriket, Stephen pun menuruti kemauan Jane. Dari situ Jane tahu bahwa Stephen berjalan terseok-seok, tetapi ia tetap berusaha mengejar dan memukul bola. Begitu juga dengan tangannya yang tampak lemah lunglai.

Stephen lama-lama tak tahan lalu meminta agar Jane meninggalkan dirinya. Namun Jane berhasil meyakinkan Stephen bahwa ia mencintainya dan mereka akan menghadapi kondisi pria itu bersama-sama.

Selepas menikahi Jane, semangat Stephen untuk mengerjakan tesis doktoralnya pun kembali. Ia pun mendapatkan gagasan untuk tema tesisnya, yaitu waktu (time). Mereka tinggal bersama di sebuah flat dua lantai, dan Stephen sama sekali tak terganggu meski harus naik turun tangga dengan 'merambat' menggunakan tubuhnya.

Cara bicaranya pun mulai cadel, meski masih bisa didengar. Ia juga harus berjalan dengan alat bantu tongkat. Awalnya hanya satu, lama-kelamaan menjadi dua. Selama masih bisa, Stephen juga berusaha untuk melakukan sesuatu seorang diri, sebab Jane juga mengurus anak pertama mereka, Robert.

Theory of Everything: Kisah Ahli Fisika yang LumpuhFoto: YouTube


Usaha Stephen tak sia-sia, dan gelar Doktor kini sudah ada di tangannya. Dengan gelar itu ia berharap bisa menemukan sebuah persamaan sederhana dan elegan yang dapat menjelaskan bahwa waktu (time) memiliki awal mula (beginning). Dengan persamaan itu, ia bisa saja menemukan penjelasan dari berbagai hal yang terjadi di muka bumi.

Namun kebahagiaan karena mengantongi gelar Doktor tidak begitu dirasakan Stephen karena fisiknya semakin lumpuh. Ia kesulitan saat makan bersama teman-temannya di pesta kelulusannya. Ia juga harus berupaya sekuat tenaga hanya untuk menaiki tangga menuju ruang tidur yang ada di lantai atas. Jane pun berinisiatif membelikan kursi roda pertama untuk Stephen.

Setelah anak kedua mereka, Lucy lahir, Stephen berhasil menemukan Hawking Radiation, radiasi yang diprediksi dilepaskan oleh Lubang Hitam ketika mendekati horizon. Menariknya, teori ini terlintas di benak Stephen saat ia dipakaikan sweater oleh Jane. Namun di saat itu tiba-tiba Lucy menangis, hingga Jane terpaksa meninggalkan Stephen yang terjebak di dalam sweater dan menenangkan putri mereka.

Kebetulan Stephen terduduk di depan perapian. Saat menatap bayangan perapian dari balik sela-sela sweater rajutan itu, ia melihat seolah-olah Lubang Hitam berpendar dan mengeluarkan cahaya radiasi.

Karenanya, karir Stephen semakin membaik dan ia mulai dikenal luas sehingga mereka bisa pindah ke rumah yang lebih besar.

Jane juga membelikan Stephen kursi roda elektrik yang bisa dikendalikan dengan mudah karena tak perlu didorong. Hal ini memudahkan mobilitas Stephen. Namun ada yang berubah dari diri Jane. Apakah itu?

Masih ingat ketika Jane harus menunda untuk menyelesaikan kuliahnya karena menikah dan mengurus Stephen serta kedua buah hati mereka? Begitu kedua anak mereka sudah masuk usia sekolah, Jane nampaknya mulai kewalahan.

Di sela-sela mengurus rumah, ia berupaya menyalin tugasnya tetapi pekerjaan itu seolah tak pernah selesai. Saat berkumpul dengan ayah ibu Stephen, suaminya tersedak. Menurut Jane, hal ini sudah sering terjadi namun Stephen tak pernah mau dibawa ke dokter spesialis.

Melihat Jane tampak stres, sang ibu mertua kemudian menyarankan agar ibu dua anak ini mengikuti latihan paduan suara di gereja. Toh latihan itu hanya berlangsung selama satu jam untuk setiap pekannya. Di sinilah ia bertemu Jonathan, si pelatih paduan suara.

Pria ini tak hanya mau memberi kursus piano kepada Robert, ia juga siap membantu tiap kali keluarga Stephen membutuhkannya. Namun begitu anak ketiga Stephen dan Jane, Timothy, lahir, kecurigaan sempat muncul jika Timothy adalah anak Jonathan.

Karena malu, Jonathan pun enggan memberikan bantuan lagi kepada keluarga Stephen, kendati ia dan Jane sama-sama saling menaruh hati. Namun atas bujukan Stephen, Jonathan akhirnya luluh. Kebetulan saat itu ia mendapat undangan untuk menonton konser komposer kesayangannya di Bordeaux, Prancis.

Tahu Jane benci naik pesawat, ia meminta Jane untuk pergi ke Bordeaux bersama Jonathan dengan naik mobil. Ia juga meminta Jane mengajak anak-anak berkemah terlebih dahulu sebelum kemudian menjemput Stephen di Bordeaux.

Tak tahunya di tengah pertunjukan Stephen tersedak sekali lagi, tetapi kali ini yang keluar adalah darah. Mahasiswi yang mendampinginya lantas memanggil ambulans dan Stephen dinyatakan koma di rumah sakit.

Kepada Jane, sang dokter mengatakan jika Stephen terserang pneumonia atau radang paru-paru dan ia hanya bisa hidup dengan bergantung pada mesin ventilator. Dokter juga tak yakin berapa lama lagi Stephen bisa bertahan.

Namun Jane bersikeras agar tim dokter membangunkan Stephen kembali, meski satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah tracheotomy, di mana tenggorokan Stephen diangkat dan ia takkan bisa bicara lagi. Operasi akhirnya dilaksanakan di Cambridge dan berhasil.

Seperti apa hidup Stephen setelah tak lagi bisa berbicara? Apakah ia menyerah begitu saja?

Theory of Everything: Kisah Ahli Fisika yang LumpuhFoto: YouTube

Bisa dibilang kebangkitan Stephen lagi-lagi karena kegigihan Jane untuk terus membuatnya bertahan. Dalam proses pemulihan, Jane kemudian mengajari Stephen 'bicara' dengan papan pengeja.

Ia hanya perlu berkedip ketika Jane menyebutkan warna dari huruf yang diinginkan Stephen. Karena Jane harus mengurus pekerjaan Stephen juga, ia pun akhirnya mencarikan perawat khusus untuk suaminya, namanya Elaine.

Sejak pertemuan pertama mereka, Stephen merasakan kecocokan yang kuat pada Elaine, apalagi mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Tanpa menggunakan papan pengeja pun Elaine juga langsung tahu apa yang diinginkan Stephen.

Bersamaan dengan itu, Stephen dibuatkan kursi roda khusus yang bisa diatur tinggi dan sudutnya. Kursi roda ini juga dilengkapi komputer yang bisa 'berbicara' mengikuti instruksi dari Stephen. Saat itulah ia menulis buku A Brief History of Time yang masih laris, bahkan hingga saat ini.

Buku itu juga memberikan kebahagiaan tersendiri bagi Jane karena sang suami akhirnya mengakui keberadaan Tuhan lewat tulisannya. Ia pun diundang memberikan kuliah umum di berbagai tempat, termasuk di AS.

Berkat kejeniusannya itu, ia pun dipanggil menghadap Ratu Inggris dan dianugerahi gelar kebangsawanan, meski kemudian ia tolak.

Sayangnya, kedekatan Elaine dengan Stephen membuat pria ini berjarak dengan wanita yang selama ini setia mendampinginya, Jane. Akhirnya keduanya berpisah baik-baik dan Jane kembali pada Jonathan.

Kondisi yang dialami Stephen saat itu masih tergolong langka. Tetapi dewasa ini pemahaman masyarakat tentang adanya ALS menjadi semakin luas, apalagi semenjak tren Ice Bucket Challenge yang dilakukan sejumlah pesohor dunia.

ALS mulai dikenal luas sejak menimpa pemain baseball terkenal di AS bernama Lou Gehrig, hingga namanya diabadikan sebagai alias dari ALS, yaitu Lou Gehrig's Disease. Malangnya Lou juga akhirnya menghembuskan napas terakhir akibat penyakit ini.

ALS sendiri biasanya dimulai dengan gejala seperti otot kedutan, tangan/kaki terasa lemah atau cara bicara seperti cadel meski masih bisa didengar. Orang-orang dengan ALS juga cenderung sering jatuh dan pada akhirnya kesulitan untuk mengangkat kepalanya sendiri maupun mempertahankan postur tubuh yang ideal.

Sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti apa penyebab ALS, namun sebagian kasus memperlihatkan ada kecenderungan genetik di balik kondisi ini.

Selain genetik, faktor risiko lain dari ALS adalah orang dengan usia tertentu, utamanya mereka yang memasuki usia 40 tahun. Seperti halnya Lou dan Stephen, pria memang lebih besar peluangnya untuk terserang ALS.

Yang perlu diperhatikan adalah komplikasi akibat ALS. Dewasa ini sudah banyak teknologi yang bisa membantu pasien ALS agar tetap beraktivitas seperti biasa, namun komplikasi tetap sulit untuk dihindari. Salah satu yang paling menonjol adalah gangguan pernapasan karena ALS melumpuhkan otot-otot saluran pernapasan. Hal ini juga terjadi pada Stephen. Kegagalan sistem ini juga menjadi penyebab utama mayoritas kasus kematian pada pasien ALS.

(lll/vit)

Berita Terkait