Bahkan, video 'insiden' ini menyebar di dunia maya. Berbicara soal anak yang 'terpeleset omong', ada kemungkinan berbagai penyebabnya, demikian disampaikan psikolog anak dari Tiga Generasi, Annelia Sari Sani MPsi, Psikolog.
Menurut Anne, jika bicara kemungkinan disleksia, untuk memastikannya perlu evaluasi lebih lanjut. Tapi, prinsipnya pada anak dengan problem bicara atau berbahasa, bisa jadi yang ada di otaknya adalah menyebut kata tongkol tapi saat dikeluarkan dalam bentuk ucapan, jadi kata yang berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya separuh yakin yang dia sadari, dia percaya, yang dia omongkan itu tongkol. Kalau diisengin sama kakak kelas di sampingnya kayaknya nggak ya. Apalagi ini kan ketemu presiden, pasti anaknya terpilihlah ya," tambah Anne.
Secara garis besar, Anne mengungkapkan bisa pula ada kesalahan dalam proses koding. Saat di otak, kata tersebut dikoding menjadi tongkol tapi saat diungkapkan, tidak menjadi tongkol.
Lebih lanjut, Anne menjelaskan pada anak yang mengalami gangguan bicara ada beberapa 'perubahan' pada kata yang diucapkan. Substitusi yakni penggantian beberapa suku kata misalnya sepatu menjadi setapu. Lalu, ada pula omisi (menghilangkan) seperti sepatu menjadi patu. Terakhir, adisi (tambahan) contohnya sepatu menjadi srepatu.
Nah, ketika seorang anak 'terpeleset omong' seperti ini, memang jadi respons alami jika orang lain menertawakannya. Tapi setelah itu, baiknya tak perlu terus-terusan menertawakan kejadian tersebut.
Baca juga: Hati-hati, Bullying pun Bisa Dialami Anak-anak di Lingkungan TK
Anne mengatakan pada dasarnya dalam sebuah relasi, ada posisi yang setara tapi ada pula satu pihak dominan dan satu pihak submisif. Nah, relasi yang tidak setara termasuk kategori bullying. Dalam kasus ini, saat anak ditertawakan, dia bisa merasa di posisi submisif.
"Jadinya secara nggak disadari (menertawakan si anak) masuk bullying. Apalagi dia kan masih SD ya. Dan ketika videonya beredar di dunia maya, itu bisa bertahan sampai lama kan. Kalau nanti beberapa puluh tahun lagi anak itu melihat video tersebut, dia bisa merasa dipermalukan. Dan merasa dipermalukan adalah perasaan yang tidak mengenakkan," tutur Anne.
Untuk itu, Anne menyarankan alangkah bijaknya untuk stop menyebarkan video si anak. Misalkan mendapat video itu dari pesan whatsapp, sebaiknya tak perlu menyimpan video itu. Terlebih jika ada anak-anak, ketika melihat video itu ia bisa berpikir pengucapan kata konotasi tersebut sah-sah saja dan dianggap lucu.
Saat anak 'terpeleset omong', orang tua bisa bertanya pada anak kata apa yang sebenarnya dimaksud oleh anak. Jika memang tongkol yang ia maksud, minta dia mengulang menyebutkan kata tersebut sampai benar. Selain itu, orang tua juga bisa menyampaikan jika kata yang 'keliru terucap' itu tak seyogianya disebutkan karena berkonotasi negatif.
Baca juga: Hai Para Orang Tua, Yuk Kenali Tahapan-tahapan Bicara Anak! (rdn/vit)











































