"Jadi memang mempengaruhi, jadi mielinisasinya terganggu. Jadi pembungkus-pembungkus saraf ini terganggu. Jadi semuanya lambat, termasuk otaknya," tutur ketua umum pengurus pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Aman Bhakti Pulungan, Sp(A)K FAAP kepada detikHealth.
Hal itu ia utarakan pada Pekan Kesadaran Tiroid International (ITAW) 2017, dengan tema 'Bukan karena Anda, Tetapi karena Tiroid Anda' di Auditorium Prof GA Siwabessy, Gedung Dr Sujudi lantai 2, Kementerian Kesehatan RI, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (26/5/2017).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Kurang Dana Jadi Salah Satu Hambatan Skrining Hipotiroid Kongenital
Lebih lanjut dr Aman menjelaskan 1,7 persen dari 5 juta bayi yang lahir tiap tahunnya melakukan skrining. Artinya hanya 85 ribu bayi baru lahir yang mengetahui apakah bayi lahir sehat atau terdiagnosis hipotiroid kongenital.
"Jadi bisa dibayangkan kalau hanya 1,7 persen, kita akan lost generation. Yang IQ-nya di atas 80 hanya 2 orang. Nah, data dari luar, bahkan 0 persen IQ yang di atas 85, kalau dia setelah 7 bulan. Jadi banyak yang tidak terdiagnosis," kata dr Aman.
Menurut dr Aman, setidaknya 2 minggu pertama setelah lahir, bayi disarankan untuk melakukan skrining. Sebab kata dokter berkacamata ini, skrining serta terapinya sendiri terbilang simpel dan juga terjangkau.
"Terapinya simpel banget, obatnya murah banget. Skriningnya juga murah banget, skrining itu nggak sampai 50 ribu kalau betul-betul dijalankan secara nasional, itu masuk BPJS. Terapinya hanya obat ajah, simpel, minum tablet 1 kecil seumur hidup," imbuh dr Aman.
Baca juga: Hipotiroid Diidap Ibu Hamil, Hati-hati Janin Bisa Kena Batunya
(hrn/vit)











































