Lembaga Health and Social Care Information Centre di Inggris misalnya menemukan 22 persen anak usia 11-15 tahun dari 210 sekolah sudah pernah mencoba rokok elektrik minimal sekali. Angka tersebut lebih besar dari persentase anak yang pernah mencoba rokok biasa sekitar 18 persen.
Baca juga: Komentar Dokter Paru Soal Video Viral Anak SD yang Isap Vapor
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal yang sama juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Menurut laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan (CDC) pada tahun 2011 ada sekitar 0,6 persen anak tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang pernah mencoba rokok elektrik. Angka itu bertambah menjadi 4,3 persen di tahun 2016.
"Rokok elektrik menjadi produk tembakau yang paling umum digunakan di antara remaja selama tiga tahun berturut-turut. Digunakan oleh 11,3 persen anak SMA dan 4,3 persen anak SMP," tulis CDC.
Di Indonesia sendiri peraturan tentang penjualan dan distribusi rokok elektrik memang masih belum jelas.
dr Lily S Sulistyowati, MM, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, mengatakan kedekatan antara anak dan orang tua saat ini memegang peranan penting dalam tindakan pencegahan anak-anak mengisap rokok elektrik. Jika orang tua tidak dekat dengan anak, maka kemungkinan anak melakukan perilaku berisiko.
"Jadi kalau dekat kan kita bisa tahu isi tasnya, atau baunya (sehabis merokok atau nge-vape) kan bisa tercium. Jadi anak kalau ketemu orang tuanya nggak sekadar hai-hai saja," kata dr Lily.
Baca juga: Kedekatan Orang Tua Penting untuk Cegah Anak-anak Nge-Vape (fds/hrn)











































