Menanggapi hal ini, pakar kesehatan jiwa, dr Andri, SpKJ, FAPM mengatakan bahwa sebenarnya sah-sah saja melakukan penelitian yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Namun bukan berarti adanya penelitian, kemudian ini bisa serta-merta diaplikasikan begitu saja. "Jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa 'Oh kalau kita bisa menentukan bahwa orang ini mengalami suatu kondisi yang berkaitan dengan selfie," katanya saat dihubungi detikHealth.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Selfitis: Kalau Nggak Selfie, Nggak Afdol
Penelitian itu juga menyiratkan seolah-olah seseorang yang suka selfie 'dilabeli' memiliki kecenderungan gangguan jiwa, sebab bisa jadi bukan cuma berkaitan dengan satu terminologi selfie saja ataupun dengan media sosial tapi juga dalam kehidupan ataupun konteks keadaan yang lain.
"Jadi, dikit-dikit kita melabel orang. Ini yang tidak baik ya. Labelling ini juga tentunya akan menjadi sesuatu hal yang berkaitan dengan yang tidak baik ke depannya," tutur dr Andri.
Foto: thinkstock |
dr Andri menegaskan, suatu kondisi dapat disebut sebagai gangguan kejiwaan jika perilaku, perasaan dan pikiran seseorang terganggu kemudian menyebabkan terjadinya disfungsi dan disabilitas pada orang tersebut.
Baca juga: 5 Macam Gangguan Jiwa yang Bermula dari Foto Selfie
(hrn/up)












































Foto: thinkstock