Beratnya Jadi Dokter Saat Tugas di Pengungsian Korban Banjir

Beratnya Jadi Dokter Saat Tugas di Pengungsian Korban Banjir

Frieda Isyana Putri - detikHealth
Rabu, 07 Feb 2018 18:14 WIB
Beratnya Jadi Dokter Saat Tugas di Pengungsian Korban Banjir
Kondisi banjir di Kampung Melayu, Rabu (7/2/2018) pukul 16.00 WIB. (Seysha-detikcom)
Jakarta - Banjir berstatus siaga 1 menggenangi rumah-rumah yang berada di belantaran sungai Ciliwung beberapa hari terakhir. Salah satu lokasi yang tergenang adalah Kelurahan Kampung Melayu di Jakarta Timur.

Dalam keadaan bencana seperti ini, warga dengan berbagai masalah kesehatan terus membanjiri puskesmas-puskesmas dan posko kesehatan. Apalagi cuaca yang tidak menentu serta kurangnya air bersih bagi para pengungsi dapat membuat kesehatan memburuk.

Akibatnya, para dokter dan pegawai kesehatan ini harus bekerja tanpa henti. dr Mardiyah adalah salah satunya. Ia bekerja sebagai Kepala Puskesmas Kelurahan Kampung Melayu di Jalan Kebon Pala, dan hampir 24 jam standby di puskesmas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mobil saya sampai nginep di sini, sayanya sih sempat pulang. Tapi harus balik lagi," katanya saat ditemui detikHealth di Puskesmas Kelurahan Kampung Melayu, Rabu (7/2/2018).

Baca juga: Banjir Kampung Melayu Berangsur Surut, Warga Mulai Bersih-bersih

Dalam menjalankan tugas, dr Mardiyah menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari listrik yang tidak kunjung menyala, hingga diminta membantu evakuasi saat sedang repot-repotnya melayani pasien. Simak halaman berikut untuk curhat dr Mardiyah selengkapnya.

Air Kotor dan Mati Listrik Sejak Senin

Ilustrasi banjir di Kampung Melayu (Foto: Ari Saputra)
Menurut data dari kantor kelurahan, sejumlah 1.392 jiwa menjadi pengungsi yang tersebar di sepuluh titik posko yang berbeda di Jakarta Timur. Sejak awal terjadinya banjir, dr Mardiyah setiap saat harus berkoordinasi dengan seluruh puskesmas se-Jakarta Timur.

Ia mengaku cukup kewalahan. Di Puskesmas Kampung Melayu ini hanya ada tiga dokter yang bertugas, masing-masing dokter memegang sekitar lima Rukun Warga (RW).

Beberapa pengungsi terlihat menggelar tikar dan membawa beberapa barangnya ke dalam puskesmas yang tidak terlalu luas tersebut, bahkan ada yang menumpang tidur. Menurut penuturan dr Mardiyah, keluhan yang paling banyak adalah kecelakaan ringan akibat paku atau benda tajam yang terbawa air bajir.

"Basah (kena) air kotor, bisa bikin infeksi. Terus anak-anak batuk pilek, muntah, diare. Kalau lagi kayak gini kan tempatnya enggak ideal untuk bayi. Belum lagi cuaca dingin, air kotor, udah mandi apa enggak, air kotor, " tambah dr Mardiyah.

Wilayah Kampung Melayu masih mati listrik sejak awal banjir melanda. Hal ini menyebabkan warga susah mendapatkan air bersih. Meskipun ada beberapa yang memiliki pompa air, namun tidak bisa dipakai karena tidak ada listrik.

"Karena genset udah megap-megap, enggak kuat. Yang kita utamain itu air, buat orang pada mandi, berak, kalo saya enggak utamain air, bau," katanya.

Diminta Bantu Sweeping dan Warga yang 'Bandel'

Ilustrasi banjir di Kebon Pala (Foto: Agung Pambudhy)
Profesi dr Mardiyah adalah seorang dokter, yang berarti ia bertanggung jawab masalah kesehatan. Namun, tak jarang ia mendapat tugas atau permintaan yang bukan tugasnya sebagai dokter.

"Ada satu momen saya diminta bantu untuk sweeping lokasi banjir. Saya bilang, sweeping bukan tugas saya, 'itu tugas BASARNAS, Bapak cari orang BASARNAS'. Ada PPSU (Penanganan Prasarana dan Sarana Umum) kan, itu siap enggak orangnya buat evakuasi," dr Mardiyah menceritakan pengalamannya.

"Yang kerendem itu saya nggak kejangkau. Saya enggak mungkin nyemplung nyemplung gitu, karena bukan bagian saya," lanjutnya.

Ia menjelaskan karena ia masih mempunyai tanggung jawab di puskesmas, dan pengungsi yang harus segera ditangani juga tidak sedikit. Kerjaan yang harus ia tanggung pun banyak, karena dia mengutamakan kesehatan warga di Kelurahan Kampung Melayu.

"Kerja kami ini kan enggak ringan. Menghadapi masyarakat, belum lagi kalau ada yang belum dapat makan. Kita kan berproses. Enggak kayak orang bakar-siram, abis. Enggak. Kita harus telfon-telfon orang. Kita harus cari tau ini di mana."

Ditambah lagi, masih banyak warga yang "bandel" alias tidak mau dievakuasi. Mereka masih bertahan di lantai dua rumahnya, entah apa alasannya belum ada yang mengetahui. Padahal, dikhawatirkan mereka akan susah mendapat makanan dan obat karena tidak mau keluar.

Selain warga yang "bandel" dan tugas-tugas "aneh" yang ia terima, dr Mardiyah pun juga tidak mendapat perlakuan dari khalayak luar yang sebagaimana mestinya. Ia menuturkan betapa beratnya bekerja di wilayah bencana.

"Seumur-umur saya jadi dokter nih, saya belum pernah dapat berita bagus tentang dokter. Pernah ada lima belas orang yang perlu dijahit lukanya, enggak ada yang peduli. Kasian kan udah capek banget, bukan (warga) enggak diurusin. Sabar lah, kita kan perlu koordinasi, " tutur dr Mardiyah.

Serangan Stroke di Tengah Musibah Banjir

Ilustrasi petugas menangani pasien korban banjir di daerah Pejaten (Dok. Dinas PKP DKI Jakarta)
Kelurahan Kampung Melayu pagi ini cukup kewalahan karena ada salah satu warga yang terserang stroke. Stroke yang dialami oleh warga berumur 80 tahun ini rupanya sudah lama diidap, yaitu selama enam tahun.

Warga ini bernama Tanmerry dan hanya ditemani oleh seorang anaknya. Menurut dr Mardiyah, dari pihak Kelurahan dan Puskesmas sedang berusaha mencarikan rujukan rumah sakit dan ambulans. Namun untuk dapat mendatangkan satu ambulans butuh usaha yang cukup besar.

"Mudah-mudahan ambulansnya bisa, karena ambulans itu mem-backup semuanya (di beberapa titik posko). Masalahnya kita nggak tau dia ada di mana, kita harus nunggu. Nggak bisa langsung suruh dateng, harus koordinasi. Ini aja saya hubungin ambulans bilang iya aja belum tentu ada, lho, " terang dr Mardiyah.

Baca juga: Kisah Nenek Tanmerry Mencari Pengobatan Stroke di Pengungsian Banjir

Bahkan di sela-sela wawancara bersama detikHealth, dr Mardiyah masih sesekali mengecek perihal ambulans Tanmerry melalui telepon selulernya. Ia juga bolak-balik berkoordinasi dengan beberapa petugas puskesmas dan memantau perkembangan Tanmerry yang masih diamankan di kantor kelurahan.

"Di sini mati listrik enggak bisa ngeprint rujukan, jadi enggak bisa cepat. Mungkin ke Budhi Asih nanti dirujuknya," kata dr Mardhiyah sambil mengetik di telepon selulernya ketika ditanyai rumah sakit rujukan Tanmerry.

"Susah deh nyari ambulans itu. Nggak gampang ngurusin orang sakit itu. Hape saya susah sinyal, udah ngetik dari tadi tapi enggak kekirim-kirim. Kita rasanya kayak terisolir," katanya.

Kondisi Tanmerry terakhir kali terlihat cukup segar dan sudah mau diberi makan. Ia sempat mengalami dehidrasi ringan karena menolak untuk minum ataupun makan.

Halaman 2 dari 4
Menurut data dari kantor kelurahan, sejumlah 1.392 jiwa menjadi pengungsi yang tersebar di sepuluh titik posko yang berbeda di Jakarta Timur. Sejak awal terjadinya banjir, dr Mardiyah setiap saat harus berkoordinasi dengan seluruh puskesmas se-Jakarta Timur.

Ia mengaku cukup kewalahan. Di Puskesmas Kampung Melayu ini hanya ada tiga dokter yang bertugas, masing-masing dokter memegang sekitar lima Rukun Warga (RW).

Beberapa pengungsi terlihat menggelar tikar dan membawa beberapa barangnya ke dalam puskesmas yang tidak terlalu luas tersebut, bahkan ada yang menumpang tidur. Menurut penuturan dr Mardiyah, keluhan yang paling banyak adalah kecelakaan ringan akibat paku atau benda tajam yang terbawa air bajir.

"Basah (kena) air kotor, bisa bikin infeksi. Terus anak-anak batuk pilek, muntah, diare. Kalau lagi kayak gini kan tempatnya enggak ideal untuk bayi. Belum lagi cuaca dingin, air kotor, udah mandi apa enggak, air kotor, " tambah dr Mardiyah.

Wilayah Kampung Melayu masih mati listrik sejak awal banjir melanda. Hal ini menyebabkan warga susah mendapatkan air bersih. Meskipun ada beberapa yang memiliki pompa air, namun tidak bisa dipakai karena tidak ada listrik.

"Karena genset udah megap-megap, enggak kuat. Yang kita utamain itu air, buat orang pada mandi, berak, kalo saya enggak utamain air, bau," katanya.

Profesi dr Mardiyah adalah seorang dokter, yang berarti ia bertanggung jawab masalah kesehatan. Namun, tak jarang ia mendapat tugas atau permintaan yang bukan tugasnya sebagai dokter.

"Ada satu momen saya diminta bantu untuk sweeping lokasi banjir. Saya bilang, sweeping bukan tugas saya, 'itu tugas BASARNAS, Bapak cari orang BASARNAS'. Ada PPSU (Penanganan Prasarana dan Sarana Umum) kan, itu siap enggak orangnya buat evakuasi," dr Mardiyah menceritakan pengalamannya.

"Yang kerendem itu saya nggak kejangkau. Saya enggak mungkin nyemplung nyemplung gitu, karena bukan bagian saya," lanjutnya.

Ia menjelaskan karena ia masih mempunyai tanggung jawab di puskesmas, dan pengungsi yang harus segera ditangani juga tidak sedikit. Kerjaan yang harus ia tanggung pun banyak, karena dia mengutamakan kesehatan warga di Kelurahan Kampung Melayu.

"Kerja kami ini kan enggak ringan. Menghadapi masyarakat, belum lagi kalau ada yang belum dapat makan. Kita kan berproses. Enggak kayak orang bakar-siram, abis. Enggak. Kita harus telfon-telfon orang. Kita harus cari tau ini di mana."

Ditambah lagi, masih banyak warga yang "bandel" alias tidak mau dievakuasi. Mereka masih bertahan di lantai dua rumahnya, entah apa alasannya belum ada yang mengetahui. Padahal, dikhawatirkan mereka akan susah mendapat makanan dan obat karena tidak mau keluar.

Selain warga yang "bandel" dan tugas-tugas "aneh" yang ia terima, dr Mardiyah pun juga tidak mendapat perlakuan dari khalayak luar yang sebagaimana mestinya. Ia menuturkan betapa beratnya bekerja di wilayah bencana.

"Seumur-umur saya jadi dokter nih, saya belum pernah dapat berita bagus tentang dokter. Pernah ada lima belas orang yang perlu dijahit lukanya, enggak ada yang peduli. Kasian kan udah capek banget, bukan (warga) enggak diurusin. Sabar lah, kita kan perlu koordinasi, " tutur dr Mardiyah.

Kelurahan Kampung Melayu pagi ini cukup kewalahan karena ada salah satu warga yang terserang stroke. Stroke yang dialami oleh warga berumur 80 tahun ini rupanya sudah lama diidap, yaitu selama enam tahun.

Warga ini bernama Tanmerry dan hanya ditemani oleh seorang anaknya. Menurut dr Mardiyah, dari pihak Kelurahan dan Puskesmas sedang berusaha mencarikan rujukan rumah sakit dan ambulans. Namun untuk dapat mendatangkan satu ambulans butuh usaha yang cukup besar.

"Mudah-mudahan ambulansnya bisa, karena ambulans itu mem-backup semuanya (di beberapa titik posko). Masalahnya kita nggak tau dia ada di mana, kita harus nunggu. Nggak bisa langsung suruh dateng, harus koordinasi. Ini aja saya hubungin ambulans bilang iya aja belum tentu ada, lho, " terang dr Mardiyah.

Baca juga: Kisah Nenek Tanmerry Mencari Pengobatan Stroke di Pengungsian Banjir

Bahkan di sela-sela wawancara bersama detikHealth, dr Mardiyah masih sesekali mengecek perihal ambulans Tanmerry melalui telepon selulernya. Ia juga bolak-balik berkoordinasi dengan beberapa petugas puskesmas dan memantau perkembangan Tanmerry yang masih diamankan di kantor kelurahan.

"Di sini mati listrik enggak bisa ngeprint rujukan, jadi enggak bisa cepat. Mungkin ke Budhi Asih nanti dirujuknya," kata dr Mardhiyah sambil mengetik di telepon selulernya ketika ditanyai rumah sakit rujukan Tanmerry.

"Susah deh nyari ambulans itu. Nggak gampang ngurusin orang sakit itu. Hape saya susah sinyal, udah ngetik dari tadi tapi enggak kekirim-kirim. Kita rasanya kayak terisolir," katanya.

Kondisi Tanmerry terakhir kali terlihat cukup segar dan sudah mau diberi makan. Ia sempat mengalami dehidrasi ringan karena menolak untuk minum ataupun makan.

(up/up)

Berita Terkait