Setiap anak yang dilahirkan biasanya memiliki gen yang mirip dengan gen yang dimiliki oleh orang tuanya. Dalam ilmu genetika, kita dapat mempelajari asal muasal timbulnya gen yang dimiliki oleh makhluk hidup.
Inilah yang mendasari adanya penelitian terhadap asal muasal genetika manusia di Indonesia oleh Lembaga Biologi Molekular Eijkman Jakarta. Disebutkan oleh Prof Herawati Sudoyo, MD PhD, Wakil Kepala Bidang Penelitian Fundamental, bahwa Indonesia masih cukup tertinggal dalam bidang medis dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Riset yang dilakukan oleh Eijkman ini berlandaskan bahwa genetika (asal muasal manusia) dapat membantu untuk memprediksikan penyakit yang nantinya akan membantu untuk menemukan "personalized medicine".
Baca juga: 20 Tahun Domba Dolly, Seberapa Jauh Ilmu Genetik Berkembang?
Seperti apa riset yang telah dilakukan untuk menuju ke sana? Berikut ini ulasannya.
1. Apakah "personalized medicine"?
|
Foto: thinkstock
|
"Obat-obatan yang kita terima di Indonesia itu biasanya digunakan oleh orang-orang Amerika atau Eropa, meskipun lolos FDA (Food and Drugs Association), tapi seringkali tidak diujikan pada orang Asia," kata Prof Hera saat berbincang-bincang dengan detikHealth, Rabu (14/2/2018).
Dalam seminar publik "The Power of Advance Genomics: Tracing Human Origins and Predicting Diseases Towards Personalized Medicine", dua narasumber dari Amerika yaitu Dr Andrew Peterson dan Dr Jeffrey Wall menyampaikan penelitia mereka dalam genetik dan percampuran populasi manusia.
Dikemukakan oleh mereka mengenai teknologi terkini dari genomic yang dapat memberikan informasi kepada kita, yaitu mengenai berbagai macam kerentanan maupun kepekaan kita terhadap penyakit atau hal-hal lain yang bersinggungan dengan medis.
2. Mengapa obat-obatan?
|
Foto: thinkstock
|
Jika obat tersebut berkategori good atau baik untuk metabolisme, maka ia akan keluar dari tubuh melalui urine dan kotoran. Kategori mild hanya dapat mengeluarkan setengah dari obat tersebut dan menyisakan sebagian dalam tubuh.
Kategori poor akan menahan obat tersebut di dalam tubuh dan tidak dikeluarkan sama sekali. Masalah ini akan muncul ketika obat yang dikonsumsi adalah obat yang tidak cocok dengan genetik pasien.
Baca juga: Obat-obatan Yang Punya Efek Samping Paling Gila
Dicontohkan oleh Prof Hera, misalnya kita mendapatkan obat untuk tiga kali dosis dalam kategori mild. Saat makan satu dosis, obat hanya akan dikeluarkan setengah.
Lalu saat minum dosis ke dua, karena masih ada dosis obat yang disimpan di dalam tubuh, maka akan menjadi dosis berlebih. Saat minum dosis ketiga, maka akan terjadi overdosis obat. Maka penelitian ini akan menjadi kunci informasinya.
3. Manifestasinya di genetika Indonesia?
|
Foto: Ilustrator Mindra Purnomo
|
Hal ini juga dituturkan oleh Dr Pradiptajati Kusuma, peneliti dari Eijkman yang fokus pada molekular antropologi dan studi evolusi manusia dan salah satu narasumber pada seminar tersebut, bahwa Indonesia berasal dari empat migrasi besar.
"Ada dari Afrika, 60-50 ribu tahun yang lalu. Kemudian dari Asia Timur dan Asia Tenggara mulai 30-20 ribu tahun yang lalu. Ketiga, dari Taiwan, 6-4 ribu tahun lalu. Dan yang terakhir, aktivitas perdagangan dari timur tengah dan asia selatan, " terang Dr Pai, panggilan akrabnya.
Dengan keadaan genetik Indonesia yang cukup campur inilah yang menyebabkan data pada riset ini cukup besar. Namun nantinya akan mempengaruhi menajemen penyakit.
Baca juga: Laki-laki dan Perempuan Sama Saja, Ini Jawaban Ilmu Genetika
"Dari ujung barat ke ujung timur, acceptabilitynya pada obat berbeda, penanganannya pun gradually. Dari data yang besar itu akan mempersempit menjadi satu perangkat yang bisa dipakai untuk Asia atau Indonesia, lalu dites untuk dijadikan personalized medicine."
Karena itu, riset ini nantinya akan berfokus untuk digunakan pada masing-masing individual dan bahkan, memungkinkan per individu untuk mengetahui siapa nenek moyang mereka secara genetik.
4. Bagaimanakah kontribusi riset ini di masa depan?
|
Foto: ilustrasi/thinkstock
|
"Apakah pada penyakit diabetes ada genom spesifik untuk Asia atau common (umum). Tapi kami tetap mencari yang spesifik karena memberikan gambaran klinik yang berbeda," lanjutnya.
Ia mengaku bahwa masih sedikit ahli dalam bidang genetik di Indonesia. Oleh karena itu, ia berharap supaya riset ini ke depannya dapat dipakai untuk diagnostik per individu di Indonesia.
"Ini memang mahal, tapi Indonesia mau nggak mau harus ikut, karena sudah sangat ketinggalan. Neighbors (negara-negara tetangga) itu sangat didukung pemerintah. Kalo di Indonesia malah terlena. Nunggu kena malaria dulu baru kelimpungan cari obatnya," tandasnya.
Halaman 2 dari 5











































