Diceritakan Muh Sakir Dg. Tala (52), ketua RW 004, komplek ini kurang lebih sudah berdiri selama 90 tahunan. Awalnya komplek ini merupakan tanah wakaf atau tanah hibah dari keturunan raja-raja Gowa dan Bone untuk ditinggali oleh pasien kusta.
"Ada perkampungan kusta karena tanah wakaf pemberian raja-raja Gowa dan Bone. Karena mereka melihat bahwa pasien kusta dikucilkan dan diasingkan," papar Sakir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bapak dan ibu saya juga contoh korban diskriminasi. Mereka kusta, akhirnya diasingkan keluarga lalu ke sini. Mereka ketemu di sini," ucap Sakir.
Salah seorang warga kompleks Jongaya Foto: Suherni |
Namun, dari waktu ke waktu pemikiran masyarakat tentang pasien kusta mulai berubah. Mereka kini sudah terbiasa hidup berdampingan, bahkan warga komplek kusta Jongaya bukan hanya ditempati pasien kusta melainkan warga pendatang baru.
"Ada sekitar 800-an kepala keluarga. Orang-orang di sini sudah berbaur. Kalau sistem listriknya yang mampu ya bayar sendiri. Kalau tidak ya nyalur dari rumah sakit haji," imbuh Sakir.
"Umumnya di sini kerja jadi pengemis, juru parkir, pemulung. Sama lainnya ada yang cacat," imbuhnya.
Warga kompleks ini membaur meski sebagian mengidap kusta Foto: Suherni |












































Salah seorang warga kompleks Jongaya Foto: Suherni
Warga kompleks ini membaur meski sebagian mengidap kusta Foto: Suherni