Peneliti dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Yurdhina Meilissa mengatakan defisit BPJS Kesehatan saat ini ditanggulangi dengan meningkatkan efisiensi. Cara ini menurutnya kurang tepat dan hanya solusi jangka pendek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sisi lain, ada solusi yang lebih mudah dan sustainable, yakni menaikkan cukai rokok. Iuran tidak perlu naik, sekaligus menghindari risiko efisiensi yakni penurunan mutu pelayanan," tambah Yurdhina lagi.
Hal senada juga dikatakan oleh dr Renny Nurhasana dari Pusat Kebijakan Jaminan Sosial-Universitas Indonesia (PJKS-UI). Ia menyebut saat ini, 5 besar penyakit dengan pembiayaan terbesar BPJS Kesehatan masih berhubungan dengan rokok.
Kenaikan cukai rokok memang sudah terjadi, dari 55 persen menjadi 57 persen. Namun kenaikan cukai ini dirasa belum cukup, karena belum ada dampaknya terhadap penurunan prevalensi rokok dan keberlangsungan JKN.
"Gagal ginjal, jantung, kanker dan stroke, trennya naik sejak tahun 2014. Kenaikan cukai rokok untuk JKN sendiri pun mendapat dukungan dari publik," tuturnya.
Abdillah Ahsan, peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyebut kenaikan cukai rokok tidak akan berpengaruh terhadap petani tembakau. Sebabnya, usulan kenaikan cukai rokok hanya akan dikenakan pada produk sigaret kretek mesin.
"Produksi rokok RI 360 miliar batang per tahun. Jika cukainya ditambah 10 rupiah saja sudah dapat Rp3 triliun, kalau 20 rupiah sudah Rp6 triliun. Tinggal berani dan tidak berani saja dilakukan. Dan memang harus butuh komitmen dari pemerintah," tutupnya.
Tonton juga 'Rokok Masih Jadi Penyumbang Cukai Terbesar di Indonesia':
(mrs/up)











































