JMK merupakan kunci penting dari sistem Early Detection and Treatment (EDAT) yang diinisiasi oleh Kabupaten Teluk Bintuni, kabupaten terbesar yang berjarak 302 km dari pusat kota Manokwari. Walau terbesar, untuk mencapai Teluk Bintuni harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 7 jam dan sebagian jalannya tidak beraspal alias masih tanah yang menyulitkan akses mendapatkan layanan kesehatan.
JMK menjadi garda depan pemberantasan malaria yang mewabah. Mereka dipilih oleh masyarakat dan akan melayani warga di kampungnya untuk mensosialisasikan dan pendeteksian dini penyakit yang ditularkan oleh nyamuk jenis Anopheles tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya adalah Aneke Merabano. Ibu enam anak berusia 40 tahun ini sudah 12 tahun mengabdi menjadi JMK di kampungnya di distrik Aroba. Ia terpilih setelah diadakan musyawarah di kampungnya.
Setelah dipilih, Aneke akan dilatih selama 3 hari oleh tim EDAT di Dinas Kesehatan Kab. Teluk Bintuni. Ia diajari apa saja gejala malaria, mendeteksi malaria lewat pengecekan darah dan menggunakan alat yang disebut 'slide', memberikan obat dan memantau mereka hingga selesai pengobatan. Nantinya akan diberikan sertifikat sebagai pengesahan mereka untuk praktek ke lapangan.
Pemeriksaan malaria. Foto: Frieda Isyana/detikHealth |
Syarat menjadi JMK adalah ibu rumah tangga, diutamakan yang punya kios atau warung dan bisa baca-tulis. Saat itu Aneke mengaku tak punya pilihan lain, namun ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini juga untuk kebaikan masyarakat.
"Sebelum ada EDAT, bisa 10 atau 15 orang dilaporkan kena malaria. Setelah ibu dapat pelatihan, langsung ibu praktekkan ke ibu punya anak sendiri. 3 hari anak ibu sudah kambuh, malaria tropica. Cari timbangan, kasih obat," tuturnya.
Setelah diketahui hasilnya positif, maka pasien akan diberikan obat yang harus dihabiskan selama tiga hari. Tugas JMK wajib memastikan mereka menghabiskannya secara teratur dan memantau perubahan gejalanya dengan rutin mengunjungi rumah pasien.
Obat yang diberikan juga cukup unik, karena melalui pengepakan ulang dengan memberikan kode warna sesuai berat badan pasien. Sehingga, para JMK yang memang bukan tenaga kesehatan bisa memahami tata cara pemberian obat malaria.
Obat malaria. Foto: Frieda Isyana/detikHealth |
Menjadi JMK juga terbilang tak lepas dari suka dan duka. Aneke menyebut menjadi sukarelawan, tentu harus merelakan banyak hal untuk dapat membantu orang lain.
"Karena kita pikir siapa lagi kalau bukan kita untuk membantu orang lain? Kalau dukanya itu ya kita punya kebutuhan sehari-hari, ada anak sekolah. Sewaktu hari minggu mau ibadah, kalau ada warga datang sedang sakit, ya kita tinggalkan. Tidak apa-apa, kita langsung melayani," kata Aneke dilanjut senyum kecil.
Beda lagi dengan yang dialami oleh Yunita Misiro (26) dari distrik Manimeri. Awalnya sang suami yang bekerja sebagai JMK, namun kemudian ia dipindahkan ke kampung lain sehingga saat itu di kampungnya belum ada JMK pengganti.
Yunita menyebut saat dimintai untuk menjadi JMK, ia cukup mengalami pergolakan. Selain karena pendidikannya tidak terkait ke arah kesehatan, ia sangat takut dengan darah maupun jarum suntik.
"Tapi pada saat itu di tempat saya kan ada 25 KK. Banyak anak anak yang sakit, tidak ada pustu di situ, jaraknya jauh lah berapa meter lagi. Ya sudah saya yang dilatih saja. Dari kesehatan kita membantu, dari gereja juga ada. Kita lihat ada sodara yang sakit kita bantu. Nah dari situ saya tertarik jadi JMK," ungkapnya saat berbincang dengan detikHealth.
Ia mensosialisasikan kepada warga setiap kali melaksanakan ibadah di gereja untuk datang berobat ke JMK jika mengalami gejala-gejala malaria, seperti demam yang tidak turun selama tiga hari berturut-turut.
Selama lima tahun sejak melahirkan anak pertamanya ia sudah mengabdi menjadi JMK dan menolong banyak warga di kampungnya terutama anak-anak. Kendala yang ia hadapi hanyalah respon warga terhadap metode suntik yang tak familiar dan masih menakutkan di mata mereka.
Misal seperti hendak mengambil kembali darah orang yang sakitnya kambuh, kadang orang tersebut mengeluh kenapa diambil lagi, atau ditusuk-tusuk lagi. Walau hanya menggunakan lancet atau jarum kecil yang cara pakainya seperti pulpen dan terasa seperti 'digigit semut', Yunita bercerita banyak yang berteriak histeris.
"Ya kita sabar saja. kadang juga kita mau kasih kelambu dia tutup pintu sampe lama baru keluar lagi. Apalagi kalau ada yang kita baru pegang jarinya mau diambil darah langsung ditarik lagi. kalau ambilnya kelihatan banyak (karena kadang ada darah yang tidak mudah keluar) mereka ribut 'ih banyak ambil suster pu darah su habis! (banyak sekali ambilnya suster darahku sudah habis). Padahal cuma sedikit," kenang Yunita seraya tertawa kecil.
Baik Yunita maupun Aneke diberi honor per bulannya sebesar 250 ribu rupiah. Walau kini Aneke tak lagi menjadi JMK setelah 6 tahun lalu distriknya membangun puskesmas, ia masih terus mensosialisasikan pada warga untuk berobat segera begitu menyadari adanya gejala.
Berkar kerjasama pemerintah dan warga ini, angka pengidap di Teluk Bintuni sudah bisa ditekan hingga nyaris tak ada lagi kasus kecuali tertular dari kabupaten lain yang masih tinggi angka kasusnya, seperti Kabupaten Manokwari Selatan.
"Kita berusaha kasih penjelasan pengertian baik baik soalnya kan ke depannya kita yang sehat. Kan kalau sehat kita bisa beraktivitas, bisa ke gereja. Kalau sakit kan tidak bisa apa-apa," pungkas Yunita.
Saksikan juga video 'Medan Berat Jadi Saksi Perjuangan Layanan Kesehatan di Papua':












































Pemeriksaan malaria. Foto: Frieda Isyana/detikHealth
Obat malaria. Foto: Frieda Isyana/detikHealth