Jakarta -
Pada Jumat (28/9/2018) gempa berkekuatan 7,5 SR menghantam Donggala sebelah utara Palu, Sulawesi Tengah. Sesaat setelah itu, sekitar 30 menit kemudian, gelombang air laut setinggi 5 meter menerjang menghancurkan gedung, menyapu kendaraan, dan menewaskan ratusan orang.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) korban meninggal di Sulteng jumlahnya mencapai 844 orang dan diperkirakan masih akan bertambah. BNPB bersama TNI saat ini sedang menyiapkan kuburan massal untuk segera mengubur korban.
Mengapa kuburan massal sering jadi pilihan dalam kondisi bencana seperti yang terjadi di Palu-Donggala? Berikut beberapa alasannya:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mempercepat penguburan
Foto: Pemakaman Massal korban Gempa Sulteng (Bil-detik)
|
Dengan korban jiwa mencapai ratusan orang, satu persatu mengubur para korban akan memakan terlalu banyak waktu dan sumber daya. Oleh sebab itu korban dikubur secara massal setelah melalui proses dokumentasi dan identifikasi.
Sanitasi
Foto: ABC Australia
|
Ketika jenazah korban mulai membusuk, materi organik seperti feses dapat mengotori sumber air bersih yang memang sudah sulit dicari usai bencana. Belum lagi bau busuk akan mengundang hewan-hewan pembawa penyakit seperti tikus dan lalat.
Hentikan penyakit
Foto: Pemakaman Massal korban Gempa Sulteng (Bil-detik)
|
Alasan utama mengapa kuburan massal dipilih biasanya untuk menghindari risiko penyakit. Sanitasi yang buruk ditambah ramainya hewan pembawa penyakit di sekitar jenazah dapat memicu berbagai macam wabah penyakit.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut contohnya seperti gastroenteritis dan sindrom keracunan makanan.
Cegah trauma
Foto: Pemakaman Massal korban Gempa Sulteng (Bil-detik)
|
Frank Ciaccio dari Kenyon International Emergency Services mengatakan setelah bencana melanda, siapapun yang selamat dari hal tersebut bisa mengalami stres berat dan rentan trauma. Nah bila korban selamat ini masih melihat banyak jenazah bergelimpangan di jalan-jalan maka tekanan bagi mentalnya akan lebih besar."Melihat jenazah adalah hal yang sangat membuat stres," kata Frank seperti dikutip dari CNN.
Dengan korban jiwa mencapai ratusan orang, satu persatu mengubur para korban akan memakan terlalu banyak waktu dan sumber daya. Oleh sebab itu korban dikubur secara massal setelah melalui proses dokumentasi dan identifikasi.
Ketika jenazah korban mulai membusuk, materi organik seperti feses dapat mengotori sumber air bersih yang memang sudah sulit dicari usai bencana. Belum lagi bau busuk akan mengundang hewan-hewan pembawa penyakit seperti tikus dan lalat.
Alasan utama mengapa kuburan massal dipilih biasanya untuk menghindari risiko penyakit. Sanitasi yang buruk ditambah ramainya hewan pembawa penyakit di sekitar jenazah dapat memicu berbagai macam wabah penyakit.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut contohnya seperti gastroenteritis dan sindrom keracunan makanan.
Frank Ciaccio dari Kenyon International Emergency Services mengatakan setelah bencana melanda, siapapun yang selamat dari hal tersebut bisa mengalami stres berat dan rentan trauma. Nah bila korban selamat ini masih melihat banyak jenazah bergelimpangan di jalan-jalan maka tekanan bagi mentalnya akan lebih besar.
"Melihat jenazah adalah hal yang sangat membuat stres," kata Frank seperti dikutip dari CNN.
(fds/up)