Seperti misalnya perkembangbiakkan nyamuk dan penyebaran bakteri penyebab infeksi akibat hujan lebat yang menyebabkan banjir. Agar lebih waspada, berikut deretan masalah kesehatan yang dapat terjadi akibat perubahan iklim yang telah dirangkum dari CNN:
Penyakit yang dibawa nyamuk dan kutu
|
Foto: Foto: University of Florida
|
Perubahan iklim tak hanya memengaruhi persebaran serangga seperti nyamuk namun juga seberapa cepat virus tersebut bereplikasi di dalam tubuh mereka dan seberapa lama hidup mereka. Hal-hal tersebut bisa jadi berkontribusi pada wabah Zika baru-baru ini, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat.
Nyamuk menjadi vektor dari penyakit seperti malaria, zika dan demam berdarah dengue. Sementara kutu bisa menyebabkan penyakit Lyme. Malaria di Indonesia masih terhitung cukup tinggi, terutama di provinsi Papua dan Papua Barat.
Infeksi bakteri berbahaya
|
Foto: Banjir di Aceh (Dok BPBD)
|
Kontaminasi tersebut juga bisa memengaruhi ladang dan kebun, yang membuat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh makanan. Karena hujan dan banjir dapat menyebarkan bakteri dan virus dalam kotoran ke tanah di mana sumber-sumber makanan ditanam, menurut laporan dari Medical Society Consortium on Climate and Health.
"Air laut yang menghangat juga bisa membuat perubahan. Di sepanjang pantai ada beberapa kasus kontaminasi bakteri pada kerang saat bulan-bulan 'hangat' yang membuat air-air tersebut bisa jadi menyebabkan infeksi saat ada orang yang berenang di sana, terutama jika mereka memiliki luka terbuka di kulit," kata Dr Sarfaty.
Peningkatan gangguan kesehatan mental
|
Foto: Getty Images
|
Walau masih membutuhkan penelitian lebih jauh untuk memastikan apa yang benar-benar menjadi penyebab dari peningkatan tersebut, ketua dari penelitian tersebut mengatakan adanya faktor ekonomi atau perubahan biologis sebagai 'pelakunya'.
"Semakin buruk kondisi ekonomi, semakin buruk pula kesehatan mentalnya. Dan ada kemungkinan ada hubungan yang masuk akal antara suhu, regulasi termal dan bagaimana otak mengatur emosi mereka sendiri," tutur Marshall Burke, asisten profesor di Fakultas Ilmu Sistem Bumi di Stanford University.
Peningkatan diabetes tipe 2
|
Foto: ilustrasi/thinkstock
|
Dalam studi tersebut diungkapkan bahwa angka diabetes meningkat sebanyak 4 persen tiap 1 derajat celcius naiknya suhu di Amerika Serikat (AS). Di seluruh dunia, intoleransi pada glukosa naik sebanyak 0,17 persen per derajat celsius kenaikan suhu.
Meski konsumsi kalori dan obesitas menjadi faktor risiko terbesar untuk diabetes, studi beranggapan bahwa suhu yang menghangat dapat mengurangi aktivitas dari jaringan lemak cokelat, yang dapat membakar lemak dan menghasilkan panas di cuaca dingin, sehingga bisa jadi menyebabkan resistensi insulin dan diabetes.
Stroke dan masalah pernapasan
|
Foto: Thinkstock
|
Campuran ini disebut zat partikulasi dapat memicu asma, penurunan fungsi paru dan peningkatan risiko kejadian kardiovaskuler seperti stroke, menurut studi yang dipublikasikan tahun lalu. Studi tersebut mengestimasi lebih dari 8 juta orang di dunia meninggal lebih dini akibat polusi udara tiap tahunnya.
Pemanasan global juga mengakibatkan banyak kebakaran hutan, yang melepaskan asap yang semakin memperburuk kualitas udara. Laporan dari tahun 2011 dari National Research Council mengungkapkan bahwa naiknya suhu sebanyak 1 derajat saja dapat menyebabkan peningkatan 400 persen kebakaran hutan.
Banyak kecelakaan dan sedikit inspeksi pangan
|
Foto: Ilustrasi: Andhika Akbaryansyah
|
Bahkan sekecil apapun perubahan dalam iklim dapat berdampak pada perilaku manusia, yang bisa menyebabkan peningkatan kecelakaan fatal dan penurunan inspeksi keamanan pangan, menurut sebuah studi baru-baru ini. Peneliti menganalisa data lebih dari 500 ribu kecelakaan kendaraan bermotor dan nyaris 13 juta pelanggaran keamanan pangan.
Suhu yang panas juga dapat mengarah terjadinya lebih banyak pelanggaran, kemungkinan besar karena bakteri patogen seperti E.coli dan salmonella tumbuh lebih cepat pada cuaca yang lebih hangat. "Suhu panas pada dasarnya jelek untuk manusia. Inti dari pemikiran tersebut adalah cuaca memengaruhi bagaimana kita beraktivitas sehari-hari dan risiko yang kita alami," tutur Obradovich, rekan penulis studi tersebut.











































