Diabetes hingga Zika, Deretan Masalah Kesehatan Akibat Perubahan Iklim

Diabetes hingga Zika, Deretan Masalah Kesehatan Akibat Perubahan Iklim

Frieda Isyana Putri - detikHealth
Selasa, 16 Okt 2018 18:02 WIB
Diabetes hingga Zika, Deretan Masalah Kesehatan Akibat Perubahan Iklim
Ilustrasi pemanasan global. Foto: istimewa
Jakarta - Bukan tidak mungkin jika perubahan iklim bisa memengaruhi kondisi kesehatanmu. Dengan bumi yang semakin 'menghangat', kondisi lingkungan juga terpengaruh termasuk para makhluk hidup.

Seperti misalnya perkembangbiakkan nyamuk dan penyebaran bakteri penyebab infeksi akibat hujan lebat yang menyebabkan banjir. Agar lebih waspada, berikut deretan masalah kesehatan yang dapat terjadi akibat perubahan iklim yang telah dirangkum dari CNN:

Penyakit yang dibawa nyamuk dan kutu

Foto: Foto: University of Florida
Iklim yang panas dan lembab merupakan kondisi yang tepat bagi perkembangbiakkan dan para ahli mengatakan bumi yang semakin 'menghangat' membuat kita berisiko tinggi terkena penyakit-penyakit yang dibawa oleh vektor, seperti nyamuk, kutu dan organisme lainnya.

Perubahan iklim tak hanya memengaruhi persebaran serangga seperti nyamuk namun juga seberapa cepat virus tersebut bereplikasi di dalam tubuh mereka dan seberapa lama hidup mereka. Hal-hal tersebut bisa jadi berkontribusi pada wabah Zika baru-baru ini, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat.


Nyamuk menjadi vektor dari penyakit seperti malaria, zika dan demam berdarah dengue. Sementara kutu bisa menyebabkan penyakit Lyme. Malaria di Indonesia masih terhitung cukup tinggi, terutama di provinsi Papua dan Papua Barat.

Infeksi bakteri berbahaya

Foto: Banjir di Aceh (Dok BPBD)
Cuaca dan hujan ekstrem berkontribusi dalam penyebaran infeksi bakteri lewat air yang terkontaminasi. Dr Mona Sarfaty, direktur program Iklim dan Kesehatan di George Mason University's Center for Climate Change Communication, menyebutkan bahwa saat curah hujan meningkat dan terjadi banjir, bisa ada percampuran antara air yang jatuh dan air selokan yang mengarah pada kontaminasi bakteri dalam air.

Kontaminasi tersebut juga bisa memengaruhi ladang dan kebun, yang membuat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh makanan. Karena hujan dan banjir dapat menyebarkan bakteri dan virus dalam kotoran ke tanah di mana sumber-sumber makanan ditanam, menurut laporan dari Medical Society Consortium on Climate and Health.

"Air laut yang menghangat juga bisa membuat perubahan. Di sepanjang pantai ada beberapa kasus kontaminasi bakteri pada kerang saat bulan-bulan 'hangat' yang membuat air-air tersebut bisa jadi menyebabkan infeksi saat ada orang yang berenang di sana, terutama jika mereka memiliki luka terbuka di kulit," kata Dr Sarfaty.

Peningkatan gangguan kesehatan mental

Foto: Getty Images
Sebuah studi yang dipublikasikan tahun ini menyurvei nyaris 2 juta warga Amerika Serikat, yang mengungkapkan bahwa ada kaitannya antara peningkatan temperatur dengan gangguan kesehatan mental. Walau kenaikan selama lima tahun hanya sekitar 1 derajat celciius, ada peningkatan masalah kesehatan mental sebanyak 2 persen, termasuk bunuh diri.

Walau masih membutuhkan penelitian lebih jauh untuk memastikan apa yang benar-benar menjadi penyebab dari peningkatan tersebut, ketua dari penelitian tersebut mengatakan adanya faktor ekonomi atau perubahan biologis sebagai 'pelakunya'.

"Semakin buruk kondisi ekonomi, semakin buruk pula kesehatan mentalnya. Dan ada kemungkinan ada hubungan yang masuk akal antara suhu, regulasi termal dan bagaimana otak mengatur emosi mereka sendiri," tutur Marshall Burke, asisten profesor di Fakultas Ilmu Sistem Bumi di Stanford University.

Peningkatan diabetes tipe 2

Foto: ilustrasi/thinkstock
Suhu yang meningkat berhubungan dengan peningkatan diabetes tipe 2, menurut sebuah studi tahun 2017 yang dipublikasikan dalam jurnal BMJ Open Diabetes Research & Care. Walau begitu, para peneliti hanya melihat korelasi antaara suhu dengan diabetes saja, sehingga mereka tidak menyebutkan bahwa perubahan suhu benar-benar menyebabkan penyakit tersebut.

Dalam studi tersebut diungkapkan bahwa angka diabetes meningkat sebanyak 4 persen tiap 1 derajat celcius naiknya suhu di Amerika Serikat (AS). Di seluruh dunia, intoleransi pada glukosa naik sebanyak 0,17 persen per derajat celsius kenaikan suhu.

Meski konsumsi kalori dan obesitas menjadi faktor risiko terbesar untuk diabetes, studi beranggapan bahwa suhu yang menghangat dapat mengurangi aktivitas dari jaringan lemak cokelat, yang dapat membakar lemak dan menghasilkan panas di cuaca dingin, sehingga bisa jadi menyebabkan resistensi insulin dan diabetes.

Stroke dan masalah pernapasan

Foto: Thinkstock
Banyak ilmuan setuju bahwa gas rumah kaca seperti karbon dioksida berkontribusi pada pemanasan global, namun tak hanya gas-gas emisi yang merusak planet kita. Polutan berbahan bakar fosil seperti batubara juga dapat menghasilkan campuran partikel padat dan tetesan cairan di atmosfer yang dapat memasuki paru-paru dan bahkan aliran darah.

Campuran ini disebut zat partikulasi dapat memicu asma, penurunan fungsi paru dan peningkatan risiko kejadian kardiovaskuler seperti stroke, menurut studi yang dipublikasikan tahun lalu. Studi tersebut mengestimasi lebih dari 8 juta orang di dunia meninggal lebih dini akibat polusi udara tiap tahunnya.

Pemanasan global juga mengakibatkan banyak kebakaran hutan, yang melepaskan asap yang semakin memperburuk kualitas udara. Laporan dari tahun 2011 dari National Research Council mengungkapkan bahwa naiknya suhu sebanyak 1 derajat saja dapat menyebabkan peningkatan 400 persen kebakaran hutan.

Banyak kecelakaan dan sedikit inspeksi pangan

Foto: Ilustrasi: Andhika Akbaryansyah

Bahkan sekecil apapun perubahan dalam iklim dapat berdampak pada perilaku manusia, yang bisa menyebabkan peningkatan kecelakaan fatal dan penurunan inspeksi keamanan pangan, menurut sebuah studi baru-baru ini. Peneliti menganalisa data lebih dari 500 ribu kecelakaan kendaraan bermotor dan nyaris 13 juta pelanggaran keamanan pangan.

Suhu yang panas juga dapat mengarah terjadinya lebih banyak pelanggaran, kemungkinan besar karena bakteri patogen seperti E.coli dan salmonella tumbuh lebih cepat pada cuaca yang lebih hangat. "Suhu panas pada dasarnya jelek untuk manusia. Inti dari pemikiran tersebut adalah cuaca memengaruhi bagaimana kita beraktivitas sehari-hari dan risiko yang kita alami," tutur Obradovich, rekan penulis studi tersebut.

Halaman 2 dari 7

Iklim yang panas dan lembab merupakan kondisi yang tepat bagi perkembangbiakkan dan para ahli mengatakan bumi yang semakin 'menghangat' membuat kita berisiko tinggi terkena penyakit-penyakit yang dibawa oleh vektor, seperti nyamuk, kutu dan organisme lainnya.

Perubahan iklim tak hanya memengaruhi persebaran serangga seperti nyamuk namun juga seberapa cepat virus tersebut bereplikasi di dalam tubuh mereka dan seberapa lama hidup mereka. Hal-hal tersebut bisa jadi berkontribusi pada wabah Zika baru-baru ini, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat.


Nyamuk menjadi vektor dari penyakit seperti malaria, zika dan demam berdarah dengue. Sementara kutu bisa menyebabkan penyakit Lyme. Malaria di Indonesia masih terhitung cukup tinggi, terutama di provinsi Papua dan Papua Barat.

Cuaca dan hujan ekstrem berkontribusi dalam penyebaran infeksi bakteri lewat air yang terkontaminasi. Dr Mona Sarfaty, direktur program Iklim dan Kesehatan di George Mason University's Center for Climate Change Communication, menyebutkan bahwa saat curah hujan meningkat dan terjadi banjir, bisa ada percampuran antara air yang jatuh dan air selokan yang mengarah pada kontaminasi bakteri dalam air.

Kontaminasi tersebut juga bisa memengaruhi ladang dan kebun, yang membuat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh makanan. Karena hujan dan banjir dapat menyebarkan bakteri dan virus dalam kotoran ke tanah di mana sumber-sumber makanan ditanam, menurut laporan dari Medical Society Consortium on Climate and Health.

"Air laut yang menghangat juga bisa membuat perubahan. Di sepanjang pantai ada beberapa kasus kontaminasi bakteri pada kerang saat bulan-bulan 'hangat' yang membuat air-air tersebut bisa jadi menyebabkan infeksi saat ada orang yang berenang di sana, terutama jika mereka memiliki luka terbuka di kulit," kata Dr Sarfaty.

Sebuah studi yang dipublikasikan tahun ini menyurvei nyaris 2 juta warga Amerika Serikat, yang mengungkapkan bahwa ada kaitannya antara peningkatan temperatur dengan gangguan kesehatan mental. Walau kenaikan selama lima tahun hanya sekitar 1 derajat celciius, ada peningkatan masalah kesehatan mental sebanyak 2 persen, termasuk bunuh diri.

Walau masih membutuhkan penelitian lebih jauh untuk memastikan apa yang benar-benar menjadi penyebab dari peningkatan tersebut, ketua dari penelitian tersebut mengatakan adanya faktor ekonomi atau perubahan biologis sebagai 'pelakunya'.

"Semakin buruk kondisi ekonomi, semakin buruk pula kesehatan mentalnya. Dan ada kemungkinan ada hubungan yang masuk akal antara suhu, regulasi termal dan bagaimana otak mengatur emosi mereka sendiri," tutur Marshall Burke, asisten profesor di Fakultas Ilmu Sistem Bumi di Stanford University.

Suhu yang meningkat berhubungan dengan peningkatan diabetes tipe 2, menurut sebuah studi tahun 2017 yang dipublikasikan dalam jurnal BMJ Open Diabetes Research & Care. Walau begitu, para peneliti hanya melihat korelasi antaara suhu dengan diabetes saja, sehingga mereka tidak menyebutkan bahwa perubahan suhu benar-benar menyebabkan penyakit tersebut.

Dalam studi tersebut diungkapkan bahwa angka diabetes meningkat sebanyak 4 persen tiap 1 derajat celcius naiknya suhu di Amerika Serikat (AS). Di seluruh dunia, intoleransi pada glukosa naik sebanyak 0,17 persen per derajat celsius kenaikan suhu.

Meski konsumsi kalori dan obesitas menjadi faktor risiko terbesar untuk diabetes, studi beranggapan bahwa suhu yang menghangat dapat mengurangi aktivitas dari jaringan lemak cokelat, yang dapat membakar lemak dan menghasilkan panas di cuaca dingin, sehingga bisa jadi menyebabkan resistensi insulin dan diabetes.

Banyak ilmuan setuju bahwa gas rumah kaca seperti karbon dioksida berkontribusi pada pemanasan global, namun tak hanya gas-gas emisi yang merusak planet kita. Polutan berbahan bakar fosil seperti batubara juga dapat menghasilkan campuran partikel padat dan tetesan cairan di atmosfer yang dapat memasuki paru-paru dan bahkan aliran darah.

Campuran ini disebut zat partikulasi dapat memicu asma, penurunan fungsi paru dan peningkatan risiko kejadian kardiovaskuler seperti stroke, menurut studi yang dipublikasikan tahun lalu. Studi tersebut mengestimasi lebih dari 8 juta orang di dunia meninggal lebih dini akibat polusi udara tiap tahunnya.

Pemanasan global juga mengakibatkan banyak kebakaran hutan, yang melepaskan asap yang semakin memperburuk kualitas udara. Laporan dari tahun 2011 dari National Research Council mengungkapkan bahwa naiknya suhu sebanyak 1 derajat saja dapat menyebabkan peningkatan 400 persen kebakaran hutan.

Bahkan sekecil apapun perubahan dalam iklim dapat berdampak pada perilaku manusia, yang bisa menyebabkan peningkatan kecelakaan fatal dan penurunan inspeksi keamanan pangan, menurut sebuah studi baru-baru ini. Peneliti menganalisa data lebih dari 500 ribu kecelakaan kendaraan bermotor dan nyaris 13 juta pelanggaran keamanan pangan.

Suhu yang panas juga dapat mengarah terjadinya lebih banyak pelanggaran, kemungkinan besar karena bakteri patogen seperti E.coli dan salmonella tumbuh lebih cepat pada cuaca yang lebih hangat. "Suhu panas pada dasarnya jelek untuk manusia. Inti dari pemikiran tersebut adalah cuaca memengaruhi bagaimana kita beraktivitas sehari-hari dan risiko yang kita alami," tutur Obradovich, rekan penulis studi tersebut.

(frp/fds)

Berita Terkait