Mengenal Cara Kerja Tsunami Early Warning System yang Ramai Diperbincangkan

Mengenal Cara Kerja Tsunami Early Warning System yang Ramai Diperbincangkan

Roshma WIdiyani - detikHealth
Rabu, 26 Des 2018 12:22 WIB
Mengenal Cara Kerja Tsunami Early Warning System yang Ramai Diperbincangkan
Pentingnya Tsunami Early Warning System (TEWS) untuk meminimalisir jumlah korban. Foto: Antara Foto
Jakarta - Beberapa waktu terakhir Tsunami Early Warning System ramai diperbincangkan. Dikutip dari detikNews, Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) dan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) untuk segera melengkapi dan memperbaiki alat pendeteksi bencana atau early warning system guna mencegah banyaknya korban jiwa jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam seperti di Perairan Selat Sunda.

"Mendorong BMKG dan BNPB untuk segera melengkapi dan memperbaiki peralatan early warning system (EWS) untuk mencegah jatuhnya korban jiwa, apabila terjadi kembali bencana alam seperti longsor, banjir, gempa bumi, maupun tsunami, mengingat waktu peringatan dini merupakan aspek yang paling penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat sehingga dapat meminimalisir terjadinya korban jiwa dan materi, serta mengajak masyarakat untuk bersama-sama merawat peralatan EWS," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulisnya.

Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar, Ir Mohamad Arief Syafi'i, M.Eng Sc, menjelaskan kepada detikHealth pada prinsipnya TEWS (Tsunami Early Warning System) untuk tsunami yang dibangkitkan oleh gempa dasar laut maupun yang dikarenakan vulkanik di laut. Hanya saja yang membedakan adalah jenis dan penempatan sensor untuk mendeteksi adanya gerakan meterial di dasar laut yang dapat membangkitkan tsunami.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Untuk potensi tsunami yang dibangkitkan oleh gempa di dasar laut, sensornya ditempatkan di dekat sumber gempa, biasanya di dekat patahan atau sesar di dasar laut (bisa di dasar laut ataupun permukaan laut). Sensor ini untuk mendeteksi perubahan muka laut yang tiba-tiba setelah terjadi gempa yang sumbernya dari pergerakan lempeng tektonik di sekitar patahan," jelas Arief.

Sensor ini perlu di pasang dalam jarak tertentu sepanjang patahan. Di sekitar pantai yang menghadap patahan juga dipasang sensor seperti stasiun pasang surut dan CORS (Continuously Operating Reference Station) atau alat penentu posisi (GPS) yang beroperasi secara kontinyu. Stasiun pasang surut berfungsi untuk mengkonfirmasi apakah terjadi tsunami atau tidak.

"Untuk tsunami yang dibangkitkan secara vulkanik, sebetulnya bukan erupsi dari gunung berapi yang membangkitkan tsunami, melainkan longsoran tanah akibat dari erupsi yang terjadi di bawah permukaan laut yang menggerakan air laut secara tiba-tiba," tambahnya.

Karena itu sensor-sensor perlu ditempatkan di sekitar berapi pada jarak yang tidak terlalu jauh untuk mendeteksi pergerakan air yang terjadi secara tiba-tiba akibat longsoran di bawah laut setelah erupsi. Sensor di pantai terdekat juga diperlukan untuk mengkonfirmasi apakah terjadi tsunami atau tidak.

"Sensor-sensor tersebut harus mampu mengirimkan data secara realtime ke sistem peringatan dini tsunami yang dikelola oleh BMKG untuk dianalisis secara cepat dan memberikan peringatan dini kepada masyarakat dalam waktu singkat," tandasnya.


Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, di Kantor BPBD DIY, Minggu (23/12/2018), menuturkan tidak adanya peringatan dini yang disampaikan ke masyarakat terkait Tsunami Selat Sunda karena BMKG belum memiliki alat pendeteksi tsunami yang diakibatkan longsoran di bawah laut maupun erupsi Gunung Berapi.

"Memang sistem peringatan dini tsunami yang dibangkitkan oleh longsoran bawah laut seperti yang terjadi tadi malam juga terjadi di Palu, serta diakibatkan erupsi dari gunung yang ada di lautan belum ada. BMKG belum memiliki sistem peringatan dini," tutur Sutopo dilansir detikNews. (ask/up)

Berita Terkait