Dibanding beberapa penyakit lainnya, hepatitis kerap diabaikan dan dianggap tidak terlalu meresahkan. Padahal jika tak segera tertangani, pasien yang mengidap hepatitis B atau C bisa berkembang menjadi sirosis atau kanker hati yang berisiko membahayakan nyawa, bahkan disebut 'silent killer'.
Ahli penyakit dalam dari RS Cipto Mangunkusumo, Dr dr Irsan Hasan, SpPD-KGEH, FINASIM, mengatakan untuk mencegah angka hepatitis semakin meningkat, maka diperlukan adanya peningkatan kesadaran pula pada masyarakat untuk mau memeriksakan diri atau screening.
"WHO menargetkan tahun 2030 untuk bebas hepatitis, dan 90 persen bisa ketahuan bahwa seseorang bisa hepatitis. Bayangkan 90 persennya (dari 250 juta warga Indonesia) harus ketahuan nanti di tahun 2030, padahal sebagian besar nggak tahu. Nah bagaimana caranya? Nomer satu periksa dulu, karena kalau nggak periksa gimana bisa ketahuan. Jadi meningkatkan kesadaran bagaimana orang mau periksa. Karena masalahnya besar, komplikasinya berat," tuturnya, saat ditemui di kawasan Thamrin.
Hambatan pengendalian hepatitis juga sebagian besar dipengaruhi oleh mitos dan stigma yang masih beredar. Salah satunya dialami oleh pasien dr Rino Alvani Gani, SpPD-KGEH. Kondisinya yang positif hepatitis B membuatnya gagal untuk menikah.
dr Rino menyebut selain bikin gagal nikah, pengidap hepatitis juga kerap mengalami diskriminasi di kantor. Biasanya dipercaya karena hepatitis bisa menular dan akan membebani lingkungannya, padahal penularan hepatitis B hanya melalui kontak seksual dan darah.
Oleh karena itu, ada bentuk pengendalian seperti screening hepatitis B pada calon pengantin. Sayangnya, baru provinsi DKI Jakarta yang mewajibkan hal tersebut. Diharapkan provinsi-provinsi lainnya juga dapat turut menerapkannya, imbuh dr Irsan.
"Kalau udah sakit screening, dia seharusnya periksa USG dan periksa darah paling nggak setiap 6 bulan. Kalau mau memutus penularan hepatitis, penularan dari ibu ke bayi ini yang harus diputus. Vaksin yang tidak positif (hepatitis B). Kalau bapaknya yang positif, akan nular nggak ke bayinya? Nggak, yang nularin ibunya," terang dr Irsan.
Beberapa mitos lainnya yang masih beredar adalah soal pantangan makan pada pengidap hepatitis. Banyak beredar larangan makan makanan berlemak, berminyak, atau juga mengonsumsi santan. dr Rino dan tim pada beberapa tahun lalu telah membuktikan bahwa konsumsi santan segar justru menambah nutrisi bagi pengidap hepatitis.
Kelima tipe hepatitis, yakni A, B, C, D, dan E memiliki cara penularan yang berbeda-beda. A dan E melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi dan bertukar alat makan, B melalui darah, C melalui kontak seksual dan darah, sementara D hanya dari hepatitis B yang berkomplikasi. Hal ini sangat penting untuk diketahui agar mengurangi stigma.
![]() |
World Hepatitis Day atau Hari Hepatitis Sedunia diperingati setiap tanggal 28 Juli di seluruh dunia. Tiap tahunnya ada tema tertentu yang diusung, di mana tahun ini mengambil tema 'Find the Missing Millions'.
Dijelaskan oleh dr Irsan, tema ini mengacu pada penyakit hepatitis yang sebagian besar tidak memiliki gejala awal, sehingga kerap diabaikan. Penyakit hepatitis disebabkan oleh virus yang menyerang hati atau liver, yang pada kasus serius bisa menyebabkan sirosis hati hingga kanker hati.
"Orang kalau mendengar kata HIV, sudah pasti takut. Tapi kalau hepatitis nggak. Kalau dipakai angka 1 dari 10 tadi, berarti di antara 10 orang ada yang kena hepatitis tapi belum cek. Nggak ada gejala kan, baik-baik saja. Hepatitis sebagian besar nggak ada gejala, bahkan sudah kanker hati pun sebagian besar nggak ada gejala. Makanya angka harapan hidup kanker hati itu masih pendek sampe sekarang, sekitar 5-6 bulan karena ketahuannya terlambat," pungkasnya.
(frp/up)