"Kalau ditanya targetnya apa, kami jelas mengurangi konsumsi rokok. Konsumsi rokok ini ada dua, yang sudah merokok dikurangi atau bahkan dihentikan, dan yang kedua tidak menambah jumlah," katanya saat dijumpai di Gedung Kementerian Kesehatan RI, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2019).
Jumlah perokok aktif yang cenderung naik disebut-sebut akan meningkatkan risiko penyakit di kalangan penggunanya dan akhirnya menyebabkan pembengkakan pada biaya pengobatan yang sebagian besar ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Meski pendapatan dari cukai rokok dipakai juga untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, Kemenkes saat ini lebih fokus pada penurunan prevalensi perokok khususnya kalangan muda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami fokus di situ. Mengurangi konsumsinya dan kemungkinan anak atau orang baru menjadi perokok. Bahwa kami mendapat manfaat lain, seperti tadi yang disebutkan, itu adalah hal lain yang kita akan selalu sinergi dengan satu dan lainnya," paparnya.
Selebihnya, menurut Anung, untuk cukai rokok dipakai sebagai tambalan biaya defisit atau bantuan BPJS Kesehatan sepenuhnya adalah urusan Kementerian Keuangan.
"Kita tidak bisa mengurusi dana ini dipakai untuk ini, hanya untuk ini. Kita satu kesatuan. (cukai rokok) Kan masuk dalam pendapatan negara," sebutnya.
"Memang ada dana bagi hasil cukai, ada pajak rokok yang semuanya pengaturannya ada di Kementerian Keuangan. Tapi kita tidak bisa mengkhususkan pendapatan cukai semua ditarik untuk pengobatan," pungkasnya.
(kna/up)











































