Mulyono menjelaskan, awalnya ia mendirikan perkumpulan tersebut sendirian atau liar. Namun ia mengaku kewalahan mengurusi dan akhirnya ia mengikuti beberapa program seperti terapi.
Akhirnya ia dan teman-temannya mencari ide bagaimana cara untuk menanggulangi penggunaan NAPZA di desanya. Ketika itu, program yang Teropong Jiwa (Terapi Okupasi dan Pemberdayaan Orang dengan Gangguan Jiwa) baru saja diluncurkan oleh Puskesmas Gitik di tahun 2017, pihak puskesmas mengajak Mulyono untuk bekerjasama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Alhamdulillah mulai 2017 bertahan untuk pengen sembuh. Sampai saat ini kita gunakan di dunia seni dan kebudayaan, ingin mengeluarkan kreasi kreasinya," kata Mulyono saat dikunjungi di sanggar miliknya di Desa Gitik, Banyuwangi, Senin (30/9/2019).
"Awalnya sanggar tersebut hanya ada 4 orang yang bergabung. Sempat ada yang ketakutan mau pulang ke rumah takut dimarahi. Karena saya dulu mantan (pengguna) jadi tahu. Saya ajak obrol, kalau dia mulai naik atau fly, kita alihkan dengan kegiatan. Kita ajak ngobrol, sharing, ikutin kemauan mereka. Kenapa mereka sampai seperti itu? Ada juga yang sampai putus sekolah," lanjutnya.
Kini sudah ada total 10 orang yang bergabung, rata-rata berusia 20-25 tahun. Dalam sanggar yang sekaligus rumah binaan tersebut, mereka juga menjalani rutinitas harian, seperti bangun pagi, salat subuh berjamaah, dan kemudian senam bersama.
Kesenian yang dilakukan dalam bentuk tari atau pertunjukkan, yang kadang diminta tetangga untuk mengisi acara atau hajatan sendiri. Hasil dari pertunjukkan tersebut akan jadi modal pembelian atau pembuatan kostum-kostum dan juga pendapatan mereka.
"Mereka senang dengan kegiatan itu, saya mengarahkan mereka untuk berkegiatan. Dengan begitu mereka akan berpikir lebih baik," pungkasnya.
(frp/up)











































