"Komunitas ini mendukung terciptanya pengelolaan limbah medis berbasis wilayah," ujar inisiator komunitas limbah medis, Dr Sarto di University Club UGM, usai pembentukan komunitas limbah medis dan B3 untuk setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan di DIY, Jumat (25/10/2019).
Sarto menuturkan, selama ini pengolahan limbah medis dan B3 di DIY kurang optimal. Lantaran pihak ketiga yang bertanggung jawab mengangkut limbah tak rutin melaksanakan tugasnya. Akibatnya banyak Puskesmas dan RS terancam dijatuhi sanksi karena terlambat membuang limbah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang melalui pembentukan komunitas ini. Sarto akan berusaha mendorong Pemda DIY agar ikut mengurusi pengelolaan sampah medis dan B3 secara mandiri. Sebab ongkos pengelolaan sampah medis oleh pihak ketiga sangat mahal karena lokasi pembangunan hanya ada di Jateng dan Jabar.
"Selain ongkosnya (pengelolaan sampah medis dan B3 oleh pihak ketiga) mahal, kita khawatir (pengelolaannya) juga tidak aman," ungkapnya.
Sarto yakin usulan itu akan disambut baik oleh Pemda DIY. Berdasarkan informasi yang ia terima, Pemda DIY juga sudah ancang-ancang mengusulkan ke pemerintah pusat untuk mengelola limbah medis secara mandiri dan Pemda telah menyiapkan tempat pengelolaan limbah medis dan B3.
"Direncanakan lokasinya (tempat pengolahan limbah medis dan B3) di sekitar TPA Piyungan," tuturnya.
Kepala Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat FK UGM, Dr Mubasyir Hasan Basri, berharap kelak masing-masing daerah di Indonesia bisa memiliki tempat pengolahan limbah medis dan B3 yang mandiri.
"Kita ingin masing-masing daerah bisa mengelola (limbah medis dan B3) sendiri. Bayangkan di DIY saja biaya yang dibayar ke pihak ketiga (untuk mengangkut sampah medis) mencapai Rp 22 miliar setiap tahun," terangnya.
(wdw/wdw)











































