Perkawinan Anak Indonesia Tinggi, Pengamat Sebut Alasannya Harus Disetop

Perkawinan Anak Indonesia Tinggi, Pengamat Sebut Alasannya Harus Disetop

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Minggu, 01 Des 2019 18:21 WIB
Ilustrasi perkawinan anak yang harus segera dihentikan. Foto: Thinkstock
Jakarta - Perkawinan umumnya adalah kebutuhan semua manusia. Namun, nyatanya tak semua perkawinan dilakukan atas dasar kemauan sendiri, seperti perkawinan anak.

Perkawinan anak disebut pengamat kerap kali menjadi jawaban dari faktor kemiskinan. Orang tua tak mendambakan anaknya sekolah untuk mendapat ijazah, alih-alih anak malah mendapat buku nikah karena dinikahkan.

Country Director Oxfam Indonesia, Maria Lauranti, memaparkan data dari Unicef tahun 2017 menyebut Indonesia menduduki peringkat ke-7 dalam perkawinan anak di dunia, dan posisi ke-2 se-ASEAN. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, 17% anak Indonesia sudah menikah.


Provinsi dengan tingkat perkawinan anak paling tinggi disebut Maria berada di Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah.

Menurut Maria, perkawinan anak masih menjadi faktor utama kekerasan pada rumah tangga. Kekerasan ini disebabkan karena mental anak belum cukup matang, dan belum siap untuk membina rumah tangga. Ditambah lagi, kondisi kesehatan mental yang kerap kali terganggu karena begitu banyak konflik yang didapat setelah memutuskan untuk menikah.

"Saat anak tidak siap, dan dia harus membesarkan anak. Udah jadi anak membesarkan anak, itu kan terjadi kerentanan yang sangat tinggi. Dia nggak bisa berkomunikasi dengan anak, sekaligus ada tekanan dari keluarga-keluarga di sekitarnya. Jadi kan itu akan mempengaruhi bagaimana keluarga-keluarga baru nantinya tumbuh, anak-anak selanjutnya," ujar Maria saat ditemui detikcom di RPTRA Cibesut, Jakarta Timur, Minggu (1/12/2019).




(fds/fds)