Pria asal Inggris ini baru saja merampungkan sesi kemoterapinya karena mengidap limfoma kanker darah, termasuk menjalani transplantasi sumsum tulang belakang menggunakan sel tubuhnya sendiri. Nah, masalah dimulai enam hari kemudian ketika ia mengaku terserang demam.
Saat mencoba mencari apa penyebab demam tersebut, dokter menemukan lesi kulit yang baru terbentuk di salah satu bagian tatonya yang berwarna merah, mirip seperti reaksi alergi pada sebagian orang ketika mereka baru saja mendapatkan tato. Yang mengejutkan, jika benar ini merupakan sebuah reaksi alergi, berarti reaksi yang dialami pria asal Inggris itu tertunda 20 tahun sejak pertama kali membuat tato.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Chapman, reaksi alergi yang dialami pria berusia 54 tahun ini juga berbeda dari reaksi yang diperlihatkan kebanyakan orang karena alergi pada salah satu bahan dari tinta tatonya. Chapman juga tidak mengira jika ini adalah dampak dari prosedur transplantasi sumsum tulang belakang yang baru saja dijalani pasiennya, karena sumsum tulang yang digunakan adalah milik pasien sendiri.
"Saya kira penekanan sistem imunlah (akibat prosedur transplantasi) yang memicu reaksi tersebut," tandas Chapman seperti dilansir Livescience, Kamis (20/2/2014).
Dari situ Chapman menjelaskan ketika pertama kali membuat tato tampaknya sistem kekebalan pria ini telah menjauhkan bakteri yang seharusnya menyebabkan reaksi alergi pada tubuhnya, bahkan ternyata sampai hari ini atau hingga 20 tahun lamanya. Akan tetapi ketika ia menjalani kemoterapi, sistem imunnya ditekan dengan prosedur tersebut sehingga bakteri-bakteri tadi punya kesempatan untuk menimbulkan masalah.
Dan benar saja, tiga hari kemudian, ketika sistem kekebalan pasien kembali normal, lesinya pulih dengan sendirinya dan hanya meninggalkan bekas berupa kulit mengelupas.
"Tapi bisa jadi reaksinya bukan hanya karena infeksi. Mungkin ada salah satu bahan tinta tato yang telah berinteraksi dengan salah satu obat kemo dan membentuk zat baru. Molekul baru ini tentu saja tampak baru bagi sistem imun si pasien sehingga menimbulkan reaksi alergi," kata Chapman.
(lil/vit)











































