Oghosa menyimpan rahasia kecanduan pornografinya rapat-rapat. Selama ini dia sering mengunci pintu kamar agar orang lain tidak tahu bahwa dirinya sedang menonton film dewasa. Tak cuma itu, dia pun bermasturbasi 5 hingga 6 kali dalam sehari.
Perempuan yang telah menyelesaikan sekolah hukumnya itu menuturkan awal mula dirinya menyukai pornografi. Tahun 2006 silam, saat dirinya masih berusia 14 tahun, Oghosa penasaran dengan hal-hal yang berbau porno dan kemudian mencarinya melalui mesin pencarian Google. Mudah, hanya dengan mengetikkan kata kunci tertentu, Oghosa remaja sudah bisa mengakses film dewasa.
"Ketika saya pertama kali menontonnya, reaksi saya adalah shock. Tapi secara bertahap dari waktu ke waktu, rasa terkejut itu malah menjadi kesenangan, dan saya akan menyaksikan hal-hal berbau porno yang bisa saya dapatkan," ungkap Oghosa.
Segera saja kecanduan pornografi itu menjadi begitu kuat 'menguasai' Oghosa. Dia mulai bosan dengan film dewasa yang sisi pornografinya termasuk kategori 'lembut'. Sehingga dia mencari konten-konten pornografi yang lebih 'nendang' untuk memberikan kepuasan tersendiri.
Saat perempuan asal Inggris ini berusia 18 tahun, dia mulai punya pacar, dan hobinya menonton konten porno mulai ditinggalkan. Namun hubungan dengan pria itu hanya berlangsung selama 6 bulan. Ketika Oghosa mulai kuliah dan kerap menghabiskan waktu sendiri, hobi itu kembali muncul.
"Saya mulai kuliah di sebuah universitas, dan saya sendirian di kota baru. Saya kira itulah pemicunya," ucap Oghosa.
Selama sekitar 2-3 tahun, Oghosa menonton film porno setiap hari selama berjam-jam, hingga total sekitar 400 jam dihabiskan untuk melihat konten porno. Masturbasi dilakukannya pula, dan kadang-kadang sampai lebih dari enam kali dalam sehari. Setiap kali melihat seseorang, Oghosa bahkan melihat orang tersebut sebagai objek seksnya.
Hal-hal sederhana seolah-olah bisa mudah membangkitkan hasrat seks Oghosa. "Seperti ada gadis yang membuka kancing blusnya atau pria yang melepas baju atasnya, semua membuat saya ingin yang lebih," tuturnya.
Namun ketika usianya menginjak 21 tahun, Oghosa teringat akan nilai-nilai keimanannya sebagai seorang Kristen. Dia pun kemudian sadar, bahwa dengan nilai-nilai agama, keinginan untuk mengakses hal-hal yang berbau porno harus dikendalikan. Apa yang ada di dalam hati, yang dilihat, dan juga yang dilakukan, harus dikendalikan.
Oghosa benar-benar berniat 'sembuh' dari kecanduannya. Mulanya dia membicarakan masalah yang dihadapi dengan temannya. Setelah itu dia membeberkan kisah kecanduannya melalui video yang diunggah di YouTube pada Februari 2014 silam. Video berdurasi hampir 5 menit itu mendapat perhatian publik, antara lain terlihat dari ratusan komentar yang didapat Oghosa.
"Saya menerima ratusan komentar mengharukan dari perempuan-perempuan yang mengalami hal serupa selama bertahun-tahun," kata Oghosa dikutip dari Daily Mail pada Senin (9/3/2015).
Komentar para perempuan itu semakin membuka pemahaman bahwa kecanduan pornografi bisa dialami siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Oghosa, dengan membicarakan masalah kecanduan itu dan tidak menyimpannya sendiri rapat-rapat, maka itu bisa jadi langkah pertama bagi seseorang untuk keluar dari jerat pornografi.
Tak cuma itu, dia pun mulai menghindari segala hal yang mengandung adegan-adegan seks. Buku-buku erotis, lagu-lagu dengan lirik bermuatan seks, juga program televisi larut malam yang dianggap tidak pantas benar-benar dijauhinya.
Kasus yang pernah dialaminya membuat Oghosa merasa perlu adanya perlindungan untuk anak agar tidak mudah mengakses konton pornografi di internet dengan mudah. "Menyedihkan saat mengetahui bahwa anak-anak masih bisa mengakses pornografi begitu mudah seperti yang saya lakukan. Jika ada pembatasan usia untuk minum alkohol dan merokok, maka seharusnya sama juga dalam hal mengakses konten porno," paparnya.
Sementara itu juru bicara The Marylebone Centre of Psychological Therapies mengatakan internet memang bisa memiliki dampak besar pada seksualitas manusia. Hal ini dikarenakan materi tak terbatas yang disediakan melalui gambar, chat room, web-cam, ataupun video. Karena itu anak butuh pendampingan dan perlindungan saat berselancar di dunia maya.
(vta/ajg)











































