Dimulai sejak masih remaja, ia kerap mengalami sakit di bagian leher dan sendi yang membuatnya mudah terkilir. Kondisinya semakin hari justru semakin memburuk.
Setelah berpindah ke 10 dokter yang berbeda, pada September 2015 akhirnya Megan didiagnosis mengidap sindrom Ehlers-Danlos, gangguan genetik langka yang memengaruhi jaringan ikat yang mendukung kulit, tulang, otot dan organ lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu adalah pertarungan mental karena jauh di lubuk hatiku, aku tahu ada masalah serius karena rasa sakit dan gejalanya. Aku harus terus berjuang mencari dokter untuk mendengarkan dan menganggap ini serius," lanjut Megan.
Gangguan ini menghasilkan kolagen yang lemah atau rusak, yang berarti jaringan tidak dapat dihubungkan atau disatukan dengan benar. Tanpa kerja kolagen dengan benar, sendi tubuh tidak stabil. Orang-orang yang mengalami sindrom Ehlers-Danlos biasanya memiliki sendi yang terlalu fleksibel dan kulit yang rapuh.
Ahli genetika pun mengatakan kepada Megan bahwa ia bisa berakhir lumpuh atau lebih buruk jika ia jatuh, karena tulang belakangnya akan bergerak lebih dari yang seharusnya namun ligamennya terlalu lemah untuk menopang tulang tersebut.
Karena persendiannya sangat lemah dan perlu dibantu, Megan dipasangi braket pada bulan April 2016 yang membuat leher dan tulang belakangnya tidak bisa bergerak.
Itu dikaitkan langsung ke tengkoraknya dengan sekrup, dua sekrup di dahinya dan dua lagi di atas telinganya. Braket ini digunakannya hingga Desember 2016.
Kemudian braket diganti dengan penyangga yang tidak dikaitkan langsung ke tengkoraknya. Namun pada Februari 2017 Megan justru mengembangkan skoliosis, yaitu kondisi di mana tulang belakang melengkung ke samping.
Sampai hari ini, aku masih memakai penyangga leher tetapi aku bisa melepasnya lagi. Aku harus memakainya di mobil, terapi fisik, ketika aku keluar bahkan ketika sedang tidur," cerita Megan.
Akhirnya Megan pun melakukan operasi utuk membantu menstabilkan tulang belakangnya. Operasi itu juga membantu Megan untuk mengurangi gejala neurologis, seperti pusing, sakit kepala, dan dengung di telinga.
Namun, setelah operasi mobilitasnya jadi sangat terbatas.
"Setelah operasi aku kehilangan kemerdekaan lebih lanjut. Aku tidak akan pernah bisa mengemudi lagi karena tulang punggung dan bahuku tidak kuat, dan aku tidak memiliki kemampuan untuk menggerakkan kepala, leher, punggung tengah, dan bagian punggung bawah," ungkapnya.
Secara total, Megan menjalani 34 operasi untuk menstabilkan persendiannya. Hingga kini pun ia masih tetap harus menjalani operasi untuk terus menstabilkan tulang belakangnya.
(wdw/up)











































