Di rumah ini, para pasien kanker yang tidak mampu dan sedang menjalani terapi boleh tinggal dan menginap sampai pengobatannya rampung.
Pengobatan kanker tidak bisa dilakukan dalam sehari semalam. Pada terapi radiasi, pasien harus mendapat terapi selama 30 - 40 hari berturut-turut. Pada pengobatan kemoterapi, pasien harus menjalani pengobatan selama 4 - 6 kali dengan rentang waktu beberapa hari. Pasien yang berasal dari luar Jakarta seringkali menemui kesulitan menemukan tempat tinggal yang murah namun layak tinggal.
Oleh karena itu, komunitas pasien dan survivor kanker yang bernama CISC (Cancer Information & Support Club) berinisiatif mendirikan rumah singgah bagi para pasien kanker yang tidak mampu. Rumah singgah ini sengaja didirikan tak jauh dari RS Cipto Mangukusumo (RSCM) agar memudahkan akses pasien untuk berobat.
Di rumah ini, para pasien kanker tidak ditinggalkan sendirian, namun ditemani seorang penjaga yang selalu siaga setiap saat. Karmin (29 tahun) adalah sang penjaga rumah sekaligus bertugas menjadi pengasuh para pasien. Ia tak bosan-bosannya menanyakan bagaimana keadaan pasien, sudah meminum obat dan susu apa belum, serta selalu mengingatkan untuk banyak makan sayur dan buah.
Sejak rumah singgah ini dibuka pada tahun 2011 lalu, Karmin mengaku betah tinggal bersama para pasien kanker. Pria asal Bekasi ini sering menjemput pasien kanker dari RSCM yang kesulitan menemukan alamat rumah singgah. Ia juga sering mengantarkan pasien ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan. Kedekatannya dengan pasien ini membuatnya tak takut dengan penyakit mematikan bernama kanker.
Selama bertugas sebagai penjaga sekaligus pengasuh pasien kanker, Karmin pernah mengalami peristiwa hebat yang tak terlupakan. Pada 3 minggu pertama ia mulai bekerja di rumah singgah ini, ia sudah harus menemui kasus pasien kanker yang mengalami pendarahan hebat.
"Waktu itu Jumat siang sekitar jam 9-an. Para pasien sudah pada ke RSCM untuk berobat. TIba-tiba saya dengar ada suara orang manggil dari salah satu kamar. Ternyata pasien yang kena kanker payudara sudah pecah kankernya dan mengeluarkan banyak darah. Saya takut mau megang, tapi kalau tidak dibawa ke RSCM nanti bisa bahaya. Akhirnya saya beranikan diri membopong ke RSCM sampai ketemu dokternya," tutur Karmin ketika berbincang dengan detikHealth, Rabu (27/6/2012).
Karmin memang selalu dituntut siap sedia jika ada pasien yang mengalami kesulitan. Akibat insiden itu, para pasien yang tinggal di rumah singgah diharuskan ditemani oleh kerabat agar dapat selalu diawasi kondisinya.
Rumah singgah ini juga menyediakan beras dan susu bagi pasien. Pasien yang tinggal hanya perlu memasak lauk dan berfokus pada pengobatannya. Apabila beras dan susu habis, tinggal menghubungi Karmin yang siap membelikan kebutuhan pokok pasien.
"Biasanya sambil masak-masak pasien pada ngobrol dan bercandaan, jadinya di sini semua pada akrab sudah seperti keluarga. Apalagi semuanya pada sakit dan jauh dari rumah," tutur Karmin.
Suasana kekeluargaan itulah yang selalu dijaga agar para pasien merasa nyaman tinggal di rumah singgah. Karmin sendiri juga memahami bahwa pasien kanker membutuhkan suasana yang kondusif dan tenang agar tidak stres dan depresi karena memikirkan penyakitnya.
Suasana serupa juga dirasakan ketika berkunjung ke rumah singgah CISC di daerah Slipi, dekat RS Dharmais. Sama seperti rumah singgah di Paseban, rumah sederhana ini tidak memasang plang yang menunjukkan bahwa tempat ini merupakan rumah singgah pasien kanker. Di sini, para pasien terlihat sangat akrab bersenda gurau dengan sang penjaga, Mbak Jum.
"Saya sangat bersukur bisa tinggal dan menjalani pengobatan di sini. Apalagi di sini kami ada orang baik yang merawat seperti Mbak Jum. Rumah ini sudah seperti rumah kedua bagi saya," kata Afit Supriadi (47 tahun) asal Batam yang menderita kanker nasofaring. Ia telah tingal di rumah singgah sejak bulan Juni 2011.
Untuk dapat tinggal di rumah singgah ini, pasien diminta membayar iuran sebesar Rp 10.000 per hari. Namun terkadang ada juga pasien yang kurang mampu sehingga digratiskan. Untuk biaya kebutuhan sehari-hari selain beras dan susu, pasien harus mengupayakan sendiri.
"Uang Rp 10.000 itu kami bebankan untuk mencegah adanya oknum yang sebenarnya mampu tetapi pura-pura tidak mampu dan tidak mau membayar. Jika ada pasien yang kurang mampu, biasanya kami persilakan juga untuk tinggal. Tapi kami periksa dulu benar-benar tidak mampu atau tidak. Jadi yang boleh tinggal adalah pasien Jamkesmas atau Jamkesda," kata Dewi Yulita, pengurus CISC yang bertanggung jawab mengelola rumah singgah di Paseban.
Saat ini CISC telah memiliki 4 rumah singgah pasien kanker di Jakarta. Kesemuanya didirikan tak jauh dari tempat pengobatan pasien kanker yang ada di Jakarta, yaitu:
1. Rumah singgah di dekat RS Dharmais. Alamat: Jl. Anggrek Neli Murni II C/41, Slipi, Jakarta Barat. Kapasitas 7 kamar.
2. Rumah singgah di dekat RSCM. Alamat: Jl. Talang Ujung no 18, RT 2/ RW 3, Kel Pegangsaan, Kec. Menteng, Jakarta Pusat. Kapasitas 10 kamar.
3. Rumah singgah di dekat RSCM. Alamat: Jl. Kramat Sawah VII RT 006/RW 07 no 3, Paseban, Kec. Senen Jakarta Pusat. kapasitas 12 kamar.
4. Rumah singgah di dekat RS Persahabatan. Alamat: Jl. Gading 1/17, Pisangan Timur, Jakarta Timur. Kapasitas 5 kamar.
(pah/ir)