Jamu boleh jadi terlanjur lekat dengan tradisi Jawa karena istilah ini berasal dari Bahasa Jawa. Padahal tradisi meracik ramuan herbal juga dikenal di banyak daerah di seluruh Indonesia, hanya mungkin namanya saja yang agak berbeda.
Misalnya di Bali, ada ramuan yang disebut loloh dan berkhasiat mengobati berbagai gangguan kesehatan. Meski sama-sama berbahan herbal, penjualnya bukan embok jamu dengan gendongan maupun setelan kebaya dan kain batik seperti di Jawa tengah dan sekitarnya.
"Di Bali ada loloh, dibuat dari rempah-rempah. Bisa untuk panas dalam, masuk angin, salah pencernaan," kata Indra, seorang karyawan di Bali yang berdarah Jawa namun sejak kecil tumbuh dalam tradisi Pulau Dewata, seperti ditulis pada Rabu (17/4/2013).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Daerah lain di Indonesia juga memiliki keragaman herbal dengan khasiatnya masing-masing. Misalnya Sanrego untuk obat kuat di Sulawesi dan sekitarnya, maupun Lamatu yang bahkan dijuluki Viagra asli Donggala, Sulawesi Tengah karena kemiripan efeknya dengan Viagra (Sildenafil).
Suku Dayak di Kalimantan mengenal akar kuning, yang secara turun temurun digunakan untuk mengobati radang hati atau hepatitis. Akar Kuning (Fibraurea chloroleuca) memiliki efek hepatoproteksi atau melindungi hati. Penggunaannya adalah dengan direbus dan diminum airnya.
Meski tradisi meramu herbal tidak cuma ada di Jawa, apa mau dikata istilah jamu terlanjur dipakai secara nasional. Jamu kini tidak hanya milik orang Jawa, melainkan sudah menjadi kekayaan nusantara karena mencakup pula ramuan-ramuan herbal dari daerah lainnya.
Bahkan ketika istilah jamu mulai tergeser oleh istilah-istilah yang lebih ilmiah seperti herbal dan fitofarmaka, sejumlah tokoh merasa keberatan. Jaya Suprana, pemilik perusahaan Jamu Jago seperti diberitakan detikHealth sebelumnya merasa tidak rela jika istilah jamu diganti.
"Ada perhimpunan dokter yang meresepkan jamu untuk pasiennya, tetapi mereka menggunakan kata herbal. Jamu saat ini perlahan-lahan mulai dibinasakan di masyarakat," ungkap Jaya yang kala itu menilai istilah jamu seharusnya tidak boleh diganti dengan herbal karena merupakan warisan budaya bangsa dan hanya satu-satunya di Indonesia.
(up/vit)











































