Sering Sundul Bola, Pesepakbola Rentan Pikun dan Cedera Otak

Sering Sundul Bola, Pesepakbola Rentan Pikun dan Cedera Otak

- detikHealth
Kamis, 13 Jun 2013 14:00 WIB
Sering Sundul Bola, Pesepakbola Rentan Pikun dan Cedera Otak
(Foto: Thinkstock)
Jakarta - 'Heading' atau menyundul bola dengan kepala merupakan kemampuan yang lazim dimiliki pesepakbola, terutama untuk memanfaatkan bola-bola atas. Namun pesepakpola harus waspada karena terlalu sering melakukan 'heading' mengalami penurunan daya ingat dan abnormalitas otak seperti halnya yang ditemukan pada pasien cedera otak akibat trauma.

"Kami sengaja mempelajari pemain sepakbola karena mereka adalah olahragawan yang paling populer di penjuru dunia," ujar Michael L. Lipton, M.D., Ph.D., direktur Gruss Magnetic Resonance Research Center, Albert Einstein College of Medicine.

"Lagipula sepakbola dimainkan oleh banyak orang, dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk anak-anak, sehingga kekhawatiran bahwa menyundul bola, salah satu komponen utama dalam sepakbola, bisa jadi menimbulkan kerusakan otak ini cukup signifikan," imbuh direktur MRI di Montefiore Medical Center, New York City tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal setiap pesepakbola rata-rata akan melakukan heading sebanyak 6-12 kali dalam sebuah pertandingan yang kompetitif, dimana bola-bolanya bergerak kesana-kemari dengan kecepatan sekitar 50 mil perjam atau lebih. Bahkan dalam satu sesi latihan, lumrah jika setiap pesepakbola melakukan heading sebanyak 30 kali atau lebih.

Menurut Dr. Lipton, heading sendiri tidaklah berdampak besar terhadap saraf-saraf di dalam otak, namun jika dilakukan secara berulang-ulang hal itu dapat memicu respons dari otak yang dapat mengakibatkan degenerasi sel-sel otak dari waktu ke waktu.

Dalam studi ini, Dr. Lipton dan rekan-rekannya meminta 37 pemain sepakbola amatir (median usia 31 tahun) untuk menjalani scan diffusion tensor imaging (DTI). Ini adalah teknik MRI lanjutan yang dapat mengamati perubahan mikroskopis di bagian otak berwarna putih (white matter). Bagian otak ini tersusun dari miliaran sel saraf yang disebut dengan axon dan bertindak layaknya 'kabel komunikasi' yang menghubungkan satu bagian otak dengan bagian lainnya.

29 partisipan diantaranya berjenis kelamin laki-laki. Setiap partisipan dilaporkan telah bermain sepakbola rata-rata selama 22 tahun dan bermain sepakbola rata-rata selama 10 bulan pada tahun 2012.

Kemudian peneliti memperkirakan seberapa sering partisipan melakukan heading setiap tahunnya, termasuk mengidentifikasi bagian-bagian otak yang mengalami perubahan fractional anisotropy (FA) sebagai respons dari aktivitas heading yang sebelumnya mereka lakukan. Selain itu, partisipan juga menjalani tes kognitif.

Apa itu fractional anisotropy (FA)? FA adalah sebuah metode untuk mengukur kondisi saraf 'white matter' otak, yang dikarakterisasi dengan pergerakan molekul-molekul air di sepanjang axon atau saraf otak. Pada 'white matter' yang sehat, arah pergerakan air ini cukup seragam dan nilai pengukuran FA-nya terlihat lebih tinggi.

Tapi ketika pergerakan airnya acak, nilai FA-nya menurun. Padahal nilai FA yang tampak rendah secara abnormal pada 'white matter' telah lama dikaitkan dengan gangguan kognitif pada pasien cedera otak traumatis.

"Kami menemukan bahwa partisipan yang paling sering melakukan heading menunjukkan abnormalitas 'white matter' yang hampir sama dengan yang kami lihat pada pasien gegar otak," simpul Dr. Lipton seperti dilansir Health24, Kamis (13/6/2013).

Pemain sepakbola yang melakukan heading di atas ambang batas 885-1.550 kali pertahun terbukti memiliki FA yang lebih rendah di ketiga bagian dari 'white matter' otak. Terlebih lagi pemain sepakbola yang melakukan heading lebih dari 1.800 kali pertahun karena mereka cenderung memperlihatkan skor daya ingat yang lebih buruk.

"Yang ingin kami perlihatkan disini adalah bukti awal terjadinya perubahan otak yang serupa dengan yang terjadi pada cedera otak traumatis akibat aktivitas heading dengan frekuensi tinggi saat bermain sepakbola," pungkas Dr. Lipton.

Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Radiology.



(vit/vit)

Berita Terkait