Pada High Level Prepatory Meeting WHO Regional Asia Tenggara (SEARO) yang dilaksanakan 14-18 Juli 2014 lalu, WHO menyerukan agar penggunaan vaksin oral dalam pencegahan penyakit polio harus ditinggalkan dan diganti dengan vaksin injeksi atau suntik. Penggantian tersebut mempunyai potensi merugikan industri farmasi Indonesia.
Wakil Menteri Kesehatan Prof Ali Gufron Mukti mengatakan bahwa kerugian sudah pasti terjadi. Pasalnya, Indonesia belum bisa memproduksi vaksin suntik sendiri, sehingga harus mengimpor vaksin dari negara lain.
"Kalau rugi sih sudah pasti. Tapi berapa besarannya saya tidak mau mengira-ngira. Lebih baik tunggu saja penerapannya bagaimana, kita lihat nanti saja," tutur Prof Gufron kepada wartawan di Gedung Kementerian Kesehatan, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti ditulis Rabu (23/7/2014).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun ia juga mengakui bahwa perubahan dari vaksin oral ke vaksin suntik tidak dilakukan secara tiba-tiba. Menurut Prof Gufron, penggunaan vaksin suntik hanya digunakan sekali dari 4 kali kewajiban pemberian imunisasi polio pada bayi dan balita.
"Ya nggak langsung semuanya disuntik. 1 dari 4 saja, satu kali imunisasi suntik, tiganya tetap pakai vaksin oral," sambungnya lagi.
Tentunya, Kemenkes juga tidak ingin secara terus-menerus memberikan vaksin hasil impor. Selain memberatkan anggaran, hal tersebut juga akan mencoreng wajah industri farmasi Indonesia yang terkenal kuat dan canggih.
Oleh karena itu, Prof Gufron berharap agar pembuatan vaksin suntik dari perusahaan Indonesia bisa selesai secepatnya, minimal dalam jangka waktu 4 tahun.
"Targetnya sih secepatnya ya, bisa produksi sendiri daripada impor. Insha Allah 2018 sudah siap," pungkasnya.
(up/up)











































