Jennifer Patterson seorang mahasiswa teknik dari University of Pittsburgh mempelajari teknologi ini dan menemukan cara untuk membantu prajurit dengan post-traumatic stress disorder (PTSD). Ia memberikan simulasi padang pasir atau kota-kota timur tengah kepada prajurit lewat Oculus agar mereka perlahan bisa sembuh.
Patterson berharap dokter dan terapis di dunia bisa memahami dan mengadopsi teknologi Oculus untuk membawa manfaat ke pasien mereka.
Baca juga: Lewat Game Ini Pemain Bisa 'Mengalami' Rasanya Idap Demensia
Selain Patterson beberapa peneliti juga telah melihat pemanfaatan aksesori game ini untuk berbagai terapi eksperimental seperti mengobati glaukoma dan mengurangi rasa sakit pasien luka bakar.
Meski belum ada analisis mengenai potensi alat digunakan dalam bidang kesehatan secara luas, analisis mengatakan kesuksesan Oculus bisa berdampak pada adopsi lebih luas lagi di bidang pendidikan, media, fashion, dan telekomunikasi.
Dibandingkan dengan alat virtual kedokteran yang sudah ada, Oculus dikatakan punya kelebihan yaitu jauh lebih murah. Dokter atau peneliti bisa mengeluarkan sampai 30 ribu dolar atau sekitar Rp 400 juta untuk perangkat virtual umumnya sementara Oculus hanya 400 dolar atau Rp 5 juta.
Alat medis virtual yang mahal dikatakan dokter akan tetap diperlukan untuk beberapa prosedur khusus. Tapi mereka yakin di waktu yang akan dekat Oculus atau yang serupa bisa menggantikan alat-alat yang lebih mahal.
"Saat makin banyak perusahaan yang terlibat dalam hal ini, kita akan terus melihat sistem yang semakin murah dan akurat," ujar Felipe Medeiros, profesor dari University of California San Diego yang telah menggunakan Oculus untuk mendeteksi glaukoma seperti dikutip dari Reuters pada Kamis (11/6/2015).
Baca juga: Bantu Rehabilitasi, Ilmuwan Ciptakan Video Game Untuk Pasien Lumpuh
(fds/vit)











































