Syarat Uji Klinis Temuan Alat Kesehatan Lebih Ketat, Apa Saja?

Syarat Uji Klinis Temuan Alat Kesehatan Lebih Ketat, Apa Saja?

Radian Nyi Sukmasari - detikHealth
Sabtu, 13 Feb 2016 13:00 WIB
Syarat Uji Klinis Temuan Alat Kesehatan Lebih Ketat, Apa Saja?
Foto: Thinkstock
Jakarta - Ketika hendak melakukan uji klinis temuan obat atau alat kesehatan (alkes) baru, ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi. Manajer riset dan pengabdian masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dr dr Budi Wiweko SpOG(K) mengatakan syarat tersebut lebih ketat dan disebut dengan Good Clinical Practice (GCP).

"Di antaranya ujinya hrus dilakukan oleh badan yang independen. Jadi penemu atau inventor tidak boleh ikut dalam uji klinis. Kalau dia terlibat di dalamnya nanti ada conflict of interest dong," kata dr Iko, begitu ia akrab disapa, ditemui di FKUI, Salemba, Jakarta, Jumat (12/2/2016).

FKUI misalnya, disebutkan dr Iko sebagai salah satu badan yang independen untuk melakukan uji klinis. Syarat kedua yakni harus ada pembanding. Misalnya pada temuan alat terkait kanker seperti Electro Capacitive Cancer Therapy (ECCT) buatan Dr Warsito harus dibandingkan dengan pengobatan yang ada saat ini yakni kemoterapi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ada alat baru nih. Nggak bisa awalnya dibandingkan kemoterapi dan alat baru saja, harus kemoterapi dibandingkan dengan kemo plus alat baru. Nggak bisa head to head karena kita nggak tahu efektivitas alat baru ini. Kalau melakukan seperti itu, itu dianggap melanggar HAM. Orang yang satu dengan kemoterapi sudah terbukti survival ratenya dibandingkan dengan alat yang belum diketahui berapa persen keberhasilannya," papar dr Iko.

Baca juga: Demi Keamanan Pasien, Uji Klinis Penting dalam Temuan Obat dan Alat Kesehatan

Semisal terbukti, pada kemoterapi, angka survivalnya sebesar 80 persen dan ketika ditambah alat baru itu angka survivalnya menjadi  90 persen. Artinya, alat itu bermanfaat meningkatkan nilai survival sebanyak 10 persen. Baru setelah dipastikan alat tersebut bermanfaat, ada lagi penelitian selanjutnya yang membandingkan kemoterapi dengan alat itu secara head to head.

"Jadi tahap awal harus kemoterapi sebagai baku emas dibandingkan dengan kemoterapi plus alat. Kalau terbukti alat baru ini menambah efektivitas baru bisa head to head," kata dr Iko.

Pasien dan peneliti pun double blind artinya tidak boleh tahu mana pasien yang menggunakan alat baru dan yang tidak. Saat menguji rompi anti kanker Dr Warsito misalnya, satu pasien mendapat kemoterapi dan memakai rompi plasebo, sedangkan pasien lain mendapat kemoterapi dan rompi anti kanker.

"Itu peneliti dan pasien nggak tahu mana yang plasebo mana yang rompi anti kanker benerannya. Yang tahu badan independen. Pasien dan peneliti itu nanti tahunya di belakang, setelah dilakukan uji klinis. Dibuka hasilnya dalam amplop yang tertutup, samar, ganda, itu baru yang benar," tandas dr Iko.

(rdn/vit)

Berita Terkait