"Di antaranya ujinya hrus dilakukan oleh badan yang independen. Jadi penemu atau inventor tidak boleh ikut dalam uji klinis. Kalau dia terlibat di dalamnya nanti ada conflict of interest dong," kata dr Iko, begitu ia akrab disapa, ditemui di FKUI, Salemba, Jakarta, Jumat (12/2/2016).
FKUI misalnya, disebutkan dr Iko sebagai salah satu badan yang independen untuk melakukan uji klinis. Syarat kedua yakni harus ada pembanding. Misalnya pada temuan alat terkait kanker seperti Electro Capacitive Cancer Therapy (ECCT) buatan Dr Warsito harus dibandingkan dengan pengobatan yang ada saat ini yakni kemoterapi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Demi Keamanan Pasien, Uji Klinis Penting dalam Temuan Obat dan Alat Kesehatan
Semisal terbukti, pada kemoterapi, angka survivalnya sebesar 80 persen dan ketika ditambah alat baru itu angka survivalnya menjadi 90 persen. Artinya, alat itu bermanfaat meningkatkan nilai survival sebanyak 10 persen. Baru setelah dipastikan alat tersebut bermanfaat, ada lagi penelitian selanjutnya yang membandingkan kemoterapi dengan alat itu secara head to head.
"Jadi tahap awal harus kemoterapi sebagai baku emas dibandingkan dengan kemoterapi plus alat. Kalau terbukti alat baru ini menambah efektivitas baru bisa head to head," kata dr Iko.
Pasien dan peneliti pun double blind artinya tidak boleh tahu mana pasien yang menggunakan alat baru dan yang tidak. Saat menguji rompi anti kanker Dr Warsito misalnya, satu pasien mendapat kemoterapi dan memakai rompi plasebo, sedangkan pasien lain mendapat kemoterapi dan rompi anti kanker.
"Itu peneliti dan pasien nggak tahu mana yang plasebo mana yang rompi anti kanker benerannya. Yang tahu badan independen. Pasien dan peneliti itu nanti tahunya di belakang, setelah dilakukan uji klinis. Dibuka hasilnya dalam amplop yang tertutup, samar, ganda, itu baru yang benar," tandas dr Iko.
(rdn/vit)











































