Pria yang akrab disapa dr Iko ini mencontohkan, misal ada obat baru untuk sakit kepala dan ditawarkan pada seseorang, pasti yang bersangkutan akan bertanya apa kandungan obat itu, dari mana asalnya, apa efek samping, dan apakah obat baru itu lebih baik, sama saja, atau justru lebih jelek dibanding obat yang sudah ada sebelumnya.
"Artinya kalau ada terobosan baru di bidang kesehatan, pembandingnya adalah pengobatan standar. Sakit kepala biasa pake parasetamol, ada obat baru, nah seberapa hebat obat ini dibanding parasetamol, efek sampingnya apa, harga berapa, dosisnya berapa. Nah, yang bisa membuktikan ini ya uji klinis. Begitu juga dengan alkes," tutur dr Iko, ditemui detikHealth di FKUI, Salemba, Jakarta, Jumat (12/2/2016).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, terkait dengan alat temuan Dr Warsito, Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) dan Electro Capacitive Cancer Therapy (ECCT), secara teori fisika, dengan menggunakan gelombang elektromagnetik, menurut dr Iko memang kuat dan sudah ditemukan alatnya. Namun, perlu juga dibandingkan pada pasien yang diduga kanker payudara atau kanker otak.
Baca juga: Soal Rompi Antikanker, Warsito Lanjutkan Penelitian di Luar Negeri?
"Kalau deteksi kanker otak kan dengan MRI, kalau kanker payudara dengan mamografi dan kalau ada benjolan dibiopsi. Kita harus lihat, benar nggak dibanding MRI, mamografi, dia lebih efektif atau sama efektifnya. Di luar tubuh dicoba dulu, alat ini kalau ada sel ganas bisa mendeteksi nggak," tambah dr Iko.
Setelah lolos uji in vitro, maka dilakukan uji in vivo pada hewan seperti mencit atau kelinci yang kondisinya dibuat seperti orang sakit. Jika lolos uji in vivo, kemudian dilakukan uji klinis yang terdiri dari empat fase. Fase 1 memastikan teknologi ini aman pada orang sehat. Misal pada alat Dr Warsito, diuji apakah gelombang elektromagnetik tidak merusak sel normal dan hanya menarget sel kanker. Di fase 2, harus dibuktikan dosis, kekuatan voltage-nya yang disesuaikan untuk masing-masing stadium kanker.
Kemudian diuji juga efek sampingnya. Jika aman, maka memasuki fase tiga yakni marketing dengan cara didaftarkan di Kementerian Kesehatan, lalu mendapat izin edar, dan dipasarkan. Baru beberapa tahun kemudian ada fase 4 yakni post marketing surveillance untuk memastikan alat yang beredar di masyarakat ini tidak ada bahayanya dan harganya bagus.
"Jadi apa yang dikatakan uji klinis pada alat Dr Warsito ini bukan menghambat. Mohon masyarakat juga paham. Inovasi di bidang kedokteran memang aturannya lebih ketat dibanding di bidang teknologi karena bidang kesehatan berhubungan dengan nyawa manusia. Di bidang kesehatan nggak bisa seorang peneliti bilang sudah bisa menciptakan alkes dan obat kenapa kok dokter nggak pakai. Nggak bisa, karena ada yang namanya uji klinis," papar dr Iko.
Baca juga: Peneliti Kembangkan Cara Bangkitkan Insulin Pasien Diabetes Tipe 1 (rdn/vit)











































