Cara yang digunakan antara lain dengan menyarankan agar warga tak berciuman, menunda hamil, dan memakai bantuan nyamuk yang telah dimodifikasi genetik. Berciuman dilarang karena diduga virus bisa menyebar lewat air liur, penundaan hamil dilakukan untuk mencegah mikrosefali yang disebut berkaitan, dan nyamuk mutan dipakai untuk menekan populasi Aedes aegypti selaku vektor virus.
Apakah cara tersebut beralasan atau hanya sesuatu yang berlebihan karena sebuah ketakutan? Peneliti dari Indonesia yang aktif di World Health Organization (WHO) Profesor dr Tjandra Yoga Aditama berkomentar bahwa yang jelas segala hal tentang Zika masih diteliti dan baru sedikit yang telah diketahui.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiap negara bisa saja punya caranya 'unik' masing-masing sebagai langkah mencegah penyakit menyebar dan menimbulkan kerusakan parah. Hanya memang aturan resmi dari WHO tak menyebut aturan-aturan tersebut resmi untuk semua negara.
"WHO yang jelas tak melarang bepergian dan berdagang ke negara terkait. Kalau mau pergi silakan tapi harus berhati-hati, hindari gigitan nyamuk. Kalau kemudian tiap negara punya kebijakan masing-masing ya tergantung dari situasinya sendiri-sendiri," kata Prof Tjandra ketika ditemui pada seminar Zika di RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, Kamis (18/2/2016).
"Semua upaya tentu saja akan dilakukan dan sampai sekarang masih dalam pergerakkan. Apakah penggunaan nyamuk modifikasi genetik itu benar akan bermanfaat atau tidak kita juga masih tunggu hasilnya," lanjut Prof Tjandra.
Peneliti dunia memang belum bisa mengkonfirmasi bahwa Zika menyebabkan mikrosefali, kecacatan akibat otak yang tak berkembang sempurna. Oleh karena itu WHO untuk saat ini baru bisa mendorong agar negara-negara semakin meningkatkan fungsi pengawasannya agar jelas pola hubungan penyakit.
Baca juga: Peneliti Sebut Temukan Virus Zika di Air Liur dan Urine
(fds/vit)











































