Namun yang paling disayangkan, masih banyak pasien yang datang ke rumah sakit dalam keadaan sudah stadium lanjut. Hal ini disampaikan dr Lina Choridah, SpRad(K), salah satu ahli di Instalasi Radiologi di RSUP Dr Sardjito.
"Bila dilihat dari angka kematian akibat kanker, di negara-negara maju, trennya cenderung menurun karena penatalaksanaan dan pengobatan kankernya sudah bersifat terpadu dan multidisiplin. Kesadaran untuk deteksi dininya juga tinggi," kepada wartawan di International Cancer Center 'Tulip', RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, Jumat (19/2/2016).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika pengobatan sudah maju, tetapi pasien datang dalam keadaan stadium sudah lanjut, maka hal ini menjadi sebuah kesia-siaan. "Semakin awal stadiumnya, hasil pengobatannya juga lebih bagus. Apalagi alat ini bisa digunakan untuk menemukan tumor pada pasien yang belum teraba," jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Simulasi pendeteksian kanker payudara dengan mamografi (Foto: Rahma Lillahi S) |
Prof Teguh juga menyampaikan peningkatan prevalensi kanker payudara di Asia sebetulnya tidak sebesar yang terjadi di negara-negara Barat. Namun yang mencolok di Asia adalah, usia pasiennya yang makin lama makin muda. Dari yang dulu di atas 60 tahun, kini banyak ditemukan pasien kanker payudara berumur 30-35 tahun, atau kurang.
"Ada kohort efek, di mana setelah Perang Dunia ke-2, kualitas makanan di Asia menjadi lebih bagus, dalam artian lemaknya lebih tinggi sehingga lama-kelamaan dapat memicu kanker," paparnya.
dr Lina menimpali, tren menikah di usia hampir 30 tahun juga ditengarai ikut memicu tingginya prevalensi kanker payudara pada wanita. Begitu pula dengan makin banyaknya wanita yang enggan memiliki anak. Padahal menurut dr Lina, proses kehamilan dapat dijadikan alat proteksi tubuh terhadap kemungkinan munculnya risiko kanker payudara.
Hal ini terlihat dari perkiraan jumlah kasus kanker payudara baru dewasa ini. Dulunya kasus baru hanya berjumlah 250-300 kasus/tahun, tetapi saat ini bisa mencapai 600 pasien per tahunnya.
Baca juga: Payudara Masih Kencang, Mamografi Tidak Cocok untuk Wanita Muda
Lalu siapa yang disarankan untuk mendapatkan mamografi? Prof Teguh mengatakan kelompok high-risk ada pada wanita, utamanya yang berumur di atas 40 tahun dan/atau memiliki hubungan kekerabatan dengan pasien kanker payudara semisal ibu atau nenek.
Skrining dengan mamografi idealnya dilakukan setiap 1 kali/tahun, sedangkan bagi penyintas, risiko relapse atau kekambuhan juga dapat dipantau dengan alat ini, yaitu dengan menjalani skrining minimal tiap enam bulan sekali.
"Awareness-nya juga sudah mulai tinggi, sehingga dari yang dulunya stadium terbanyak 3-4, sekarang stadium 2-3 sudah terdeteksi," imbuhnya.
Mamografi baru milik RSUP Dr Sardjito memotret jaringan payudara dari 4 sisi dan menjangkau hingga ke kelenjar ketiak untuk melihat perluasan kankernya. (Foto: Rahma Lillahi S) |
Baca juga: RS Sardjito Sudah Punya Alat Pendeteksi Kanker yang Belum Teraba
Ditambahkan dr Anita Ekowati, SpRad, Kepala Instalasi Radiologi RSUP Dr Sardjito, seluruh rumah sakit milik pemerintah di Indonesia sebenarnya telah memiliki teknologi semacam ini. Namun mammography digital microdose yang dilengkapi dengan computer-aided detection yang dimiliki rumah sakitnya adalah yang pertama di Indonesia.
"Kelainan di payudara sekecil apapun bisa terdeteksi sampai mendetail. Biasanya berupa mikrokalsifikasi yang tidak ditemukan di ultrasonografi, bisa ditemukan di alat ini," promonya. (lll/vit)












































Simulasi pendeteksian kanker payudara dengan mamografi (Foto: Rahma Lillahi S)
Mamografi baru milik RSUP Dr Sardjito memotret jaringan payudara dari 4 sisi dan menjangkau hingga ke kelenjar ketiak untuk melihat perluasan kankernya. (Foto: Rahma Lillahi S)