Menurut dr Tjahjono yang mendaftar untuk jadi donor sebetulnya kini mulai banyak mengalir. Hanya saja kebanyakan pendaftar adalah mereka yang masih muda dengan usia harapan hidupnya yang masih panjang.
"Yang daftar ke kita itu yang masih muda-muda yang nggak tahu meninggalnya mungkin 50 tahun lagi, sehingga walau tercatat rata-rata sudah hilang. Justru yang potensial yang sudah mendekati umur meninggal belum terbuka pikirannya belum mau berbagi," kata dr Tjahjono saat ditemui dalam launching CSR Operasi Katarak Sepuluh Ribu Mata di Wisma Habibie dan Ainun, JL Patra Kuningan XIII, Jakarta, Selasa (3/5/2016).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keluarga mungkin tak mau jasad orang terdekatnya 'dirusak' sehingga sama sekali tak mengabarkan Bank Mata.
Baca juga: Jadi Donor Mata Bukan Berarti Harus Berikan Bola Mata Secara Utuh
"Di kita seandainya sekalipun orang ini mendaftar jadi donor, kalau sudah meninggal maka siapa sebetulnya yang bertanggung jawab. Apakah istri? Istrinya mungkin bilang boleh tetapi katakan kakaknya bilang enggak boleh. Ya udah selesai," ungkap dr Tjahjono.
Apa yang menjadi pendorong penolakan pada kelompok usia yang lebih tua ini adalah kekhawatiran dari segi agama yaitu diminta pertanggungjawaban di akhirat. Padahal menurut dr Tjahjono agama di Indonesia khususnya tak ada yang benar-benar melarang donor.
Oleh karena itu saat ini Bank Mata terus berusaha meningkatkan jumlah donor dengan melakukan pendekatan lewat merangkul organisasi keagamaan.
Baca juga: Bermata Minus, Plus, Atau Silindris Tak Bisa Jadi Donor Mata? Itu Mitos
(fds/vit)











































