Ragam Terapi Unik untuk Atasi Depresi: Naik Gunung Hingga Gas Tertawa

Ragam Terapi Unik untuk Atasi Depresi: Naik Gunung Hingga Gas Tertawa

Muhamad Reza Sulaiman - detikHealth
Selasa, 20 Sep 2016 17:02 WIB
Ragam Terapi Unik untuk Atasi Depresi: Naik Gunung Hingga Gas Tertawa
Foto: thinkstock
Jakarta - Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa yang sangat fatal bila didiamkan. Jika tak ditangani dengan baik, pasien bisa terisolasi dari pergaulan hingga rentan bunuh diri.

Normalnya, depresi diterapi dengan psikoterapi atau obat-obatan. Namun kadang kala, dua jenis terapi tersebut kurang bermanfaat bila tak diselingi kegiatan alternatif.

Apa saja terapi alternatif unik yang bisa dilakukan? Dirangkum detikHealth dari berbagai sumber, ini 4 di antaranya:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Baca juga: Terapi Perilaku Paling Manjur Bantu Depresi pada Anak

1. Mancing dan naik gunung

Matt Tripet, seorang pria asal Australia, Fly Program, sebuah program unik untuk mengentaskan para pria Australia dari depresi, dengan cara mengajak mereka memancing ikan dan mendaki gunung.

Dari situ pula ia terdorong untuk melakukan hal yang sama pada pria dengan gangguan mental lainnya. Pesertanya tak hanya yang mengidap depresi, tetapi juga post-traumatic stress disorder (PTSD) dan mereka yang pernah terpikir untuk bunuh diri.

Menghabiskan waktu di alam terbuka, menurut Tripet, dapat memberikan manfaat bagi kondisi psikis seseorang, dan ini sudah dibuktikan oleh banyak studi.

"Ketika itulah kami ajak mereka bicara tentang banyak hal. Tidak hanya yang terjadi sehari-hari, tetapi sesuatu yang berdampak pada mereka atau mungkin yang memicu depresi mereka," jelas Tripet.

2. Terapi virtual reality

Terapi baru ini merupakan bagian dari studi berkelanjutan di University College London ICREA-University of Barcelona. Penelitian ini didanai Medical Research Council dan telah dipublikasikan di British Journal of Psychiatry Open.

Pasien memakai alat virtual reality untuk memproyeksikan avatarnya di layar komputer. Setelah memakai headset, jika yang bersangkutan bergerak atau menggoyangkan anggota tubuh, maka avatar di layar komputer akan melakukan hal yang sama.

Nah, dalam kegiatan virtual itu, pasien akan bertemu dengan avatar anak yang menangis. Lalu pasien diminta untuk menghibur dan menenangkan anak itu. Pasien akan meminta anak kecil itu mengingat waktu yang membuatnya bahagia, juga memikirkan seseorang yang disayanginya.

3. Membatik

Akhmad Mukhlis, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Kamal Sarang Rembang, mengajak para napi yang mengidap depresi untuk membatik. Mukhlis mencoba menerapkan terapi membatik untuk mengurangi tingkat depresi karena menurutnya membatik bukan sekadar menggambar biasa.

Membatik lebih kompleks lantaran membutuhkan lebih banyak sarana, karena harus menggunakan lilin cair, canting dan proses pewarnaan.

"Sebagai bagian dari terapi seni, secara garis besar terapi membatik memiliki fungsi sama dengan fungsi terapi seni, yaitu sarana untuk menyelesaikan konflik emosional, meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan ketrampilan sosial, mengontrol perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan, mengarahkan realitas dan meningkatkan self esteem," tutur Mukhlis dalam penelitianya yang diterbitkan dalam PSIKOISLAMIKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI) Vol 8 No 1 tahun 2011.

4. Gas tertawa

Peneliti dari Washington University, St Louis menemukan bahwa gas tertawa ternyata dapat dijadikan alternatif pengobatan untuk penderita depresi parah, terutama yang tidak mempan dengan terapi biasa seperti obat antidepresan.

Namun bukan berarti Anda dibuat tertawa oleh gas ini lalu depresi Anda sembuh begitu saja. Untuk membuktikan khasiatnya, peneliti meminta sejumlah pasien ambil bagian dalam sebuah percobaan. Masing-masing diberi dua jenis terapi, yakni terapi dengan plasebo dan kombinasi antara oksigen serta nitrit oksida.

"Kami mendapati bahwa dua-pertiga pasien yang mendapatkan gas tertawa mengalami penurunan gejala depresi yang signifikan. Padahal bila dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo, hanya sepertiga yang gejalanya menurun," ungkap peneliti Dr Peter Nagele.

Baca juga: Orang Tua, Tiang Utama Keberhasilan Terapi Anak Autis (mrs/vit)

Berita Terkait