Santi mengisahkan dirinya mengikuti mammografi setelah mendapat sosialisasi pentingnya mammografi. Sosialisasi itu dilakukan seorang dokter kepada kelompok pasien dengan penyakit tidak menular yang diikuti Santi.
"Mammografinya di Puskesmas Jagakarsa pada 2015. Beberapa waktu kemudian katanya ada jaringan yang bisa jadi kanker. Lalu saya USG payudara," tutur Santi kepada detikHealth, di sela-sela pertemuan penyintas kanker payudara di Hotel Mercure, Jl Lodan, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (1/10/2016).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Benjolan yang Seperti Ini Patut Dicurigai Kanker
"Sama dokter saya ditanya anaknya berapa, ditanya macam-macam. Habis biopsi itu, jahitannya sempat kebuka, sampai darahnya ke seprai pas saya bangun tidur," tutur warga Ciganjur, Jakarta Selatan, ini.
Selanjutnya, Santi dijadwalkan melakukan kemoterapi. "Saya bersyukur karena mammografi, bisa cepat ketahuan (gejala kanker payudaranya). Habis itu saya suka bilang ke tetangga-tetangga biar pada mammografi. Kalau cepat ketahuan nggak perlu diangkat (operasi pengangkatan payudara, red)," sambung perempuan berkerudung ini.
"Tiga bulan setelah kemoterapi itu, saya disuruh datang untuk kontrol," imbuhnya.
dr Walta Gautama SpB(K)Onk, sebelumnya menjelaskan faktor keterlambatan penanganan kanker payudara utamanya karena kurang pengetahuan tentang gejala, deteksi dini, dan terapi kanker payudara. Masih banyak yang enggan melakukan deteksi dini kanker payudara dengan berbagai macam alasan.
Nah, pembaca detikHealth, sudahkah Anda melakukan deteksi dini kanker payudara? Menurut Anda apa alasan yang membuat seseorang melakukan deteksi dini kanker payudara? Yuk bagikan pendapat dan pengalaman Anda terkait deteksi dini kanker payudara maupun perjuangan menghadapi kanker payudara ke redaksi@detikhealth.com
Baca juga: Hendak Mammografi? Ini yang Perlu Anda Perhatikan
(vit/up)











































