Prof Amin Soebandrio, PhD, SpMK, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, menyebut peneliti kerap tidak menyadari bahwa hasil penelitian di laboratorium yang sudah dipublikasi tidak bisa begitu saja bisa dipasarkan di industri. Mulai dari skala penelitian hingga cara penelitian dilakukan bisa saja bertabrakan dengan praktik di industri.
"Misalnya jumlah dan ukurannya berbeda, di lab bekerja cuma dengan 5 cc, di industri gunakannya literan. Belum lagi memikirkan pemasarannya. Ada lagi metodologi yang digunakan oleh peneliti tidak sama dengan yang diterapkan oleh industri," ungkap Prof Amin kepada detikHealth, ditemui usai acara Forum Diskusi Ristek-Kalbe Science Awards (RKSA) 2018, Direktorat Pendidikan Tinggi, Kemenristekdikti, Senayan, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Industri kesehatan memiliki pedoman dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait produksi obat dan alat kesehatan. Ketika peneliti melakukan penelitian yang tidak sesuai dengan pedoman tersebut, otomatis industri tidak bisa melanjutkan penelitian lebih jauh untuk dijadikan produk dan dipasarkan.
Hal inilah menurut Prof Amin, yang membuat peneliti agak enggan menyodorkan hasil penelitiannya kepada industri. Sebabnya, peneliti diharuskan mengulang lagi penelitiannya dengan mengikuti pedoman dan tata cara industri.
"Karena itu kami menyarankan jika peneliti memang mengarahkan hasil penelitiannya untuk dipasarkan, dia dari awal melihat siapa industri yang akan meneruskan kerjanya, bicara prosedur apa yang harus dilalui agar hasil penelitiannya kelak bisa diproduksi dan dipasarkan," papar Prof Amin lagi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristekdikti, Prof Muhammad Dimyati, MSc. Prof Dim, begitu ia akrab disapa, mengatakan strategi konsorsium bisa jadi solusi agar peneliti dan industri bisa bekerja sama.
Bantuan dari industri bukan hanya di bagian pemasaran produk. Strategi konsorsium juga memungkinkan adanya dana dari industri untuk membantu anggaran penelitian yang selama ini didominasi oleh pemerintah.
"Tahun 2016 saat pertama kali konsorsium itu dibentuk, dari kebutuhan anggaran penelitian Rp 1 miliar, industri menyumbang sekitar 43,6 persen, jadi sekitar lebih dari 430 juta," tandasnya.
Kalbe Farma sebagai salah satu pelaku industri kesehatan di Indonesia mendukung gagasan agar lebih banyak penelitian dari peneliti lokal yang bisa diproduksi dan dipasarkan. Vidjongtius, presiden direktur PT Kalbe Farma, Tbk mengatakan melalui RKSA 2018, peneliti diharapkan mampu menghasilkan penelitian yang bermanfaat bagi masyrakat Indonesia.
"Kita memerlukan sinergi yang harmonis antara semua elemen bangsa, khususnya akademi, industri, dan pemerintah, untuk mampu bersaing sekaligus mewujudkan hasil penelitian yang memiliki nilai tinggi secara komersial dan bermanfaat bagi masyarakat luas," ujarnya.











































