Tidak ada yang salah dengan hashtag tersebut, namun rasanya bakal sangat sulit untuk benar-benar tidak takut ketika korban jiwa telah berjatuhan. Foto dan video korban terorisme yang begitu vulgar juga turut memupuk ketakutan. Masihkah relevan menyerukan sikap 'kami tidak takut'?
"Naluri manusia itu pasti takut, itu wajar," kata dr Suzy Yusna Dewi, SpKJ, psikiater dari RSJ dr Soeharto Heerdjan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Kami Tidak Takut, Cuma Deg-degan! |
Foto: viral |
Dibanding menyerukan tidak takut, psikolog Rahajeng Ika lebih menyarankan seruan yang lebih positif. Intinya yang tidak provokatif dan memancing situasi perang.
"Kata 'tidak' memang nggak seharusnya digunakan. Karena dibaca otak 'Saya Takut'," kata psikolog yang akrab disapa Ika tersebut.
Pendapat senada juga pernah disampaikan psikolog Liza Marielly Djaprie dalam wawancara dengan detikHealth, sesaat setelah aksi teror di Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat awal 2016. Menurutnya, Neuro-linguistic programming (NLP) lebih menganjurkan kata-kata positif untuk menanamkan sugesti tertentu.
"Sama seperti anak kecil. Kalau dilarang-larang; jangan pegang panci panas, dalam kepalanya malah muncul sugesti untuk memegang. Dengan sugesti 'kami tidak takut', amit-amit kalau suatu saat terjadi teror serupa, khawatirnya justru muncul rasa takut," jelas Liza saat itu.












































Foto: viral