Penelitian tersebut dilakukan oleh dokter endokrin anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Dr dr Andi Nanis Sacharina Marzuki, SpA(K) selama 3,5 tahun. Dengan rentang usia pasien mulai dari 40 hari hingga 47 tahun.
"Empat belas dari 37 itu (terdiagnosis) sudah masuk usia pubertas. Terdiagnosisnya terlambat, awalnya perempuan, begitu masuk pubertas hormon laki-lakinya keluar," ujarnya saat ditemui di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, Kamis (17/1/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
dr Nanis mengatakan bahwa tidak semuanya terlahir dengan organ kelamin perempuan, hanya 14 dari 37 orang. Sisanya memiliki organ kelamin 'ambigu' yang berada di tengah spektrum antara perempuan dan laki-laki.
Kelainan ini sangat jarang ditemukan, sehingga belum dipastikan berapa angka pasti orang yang mengidap kelainan genetik ini. Namun dr Nanis menyebut sekitar 1 antara 2.000 bayi lahir dengan kelainan tersebut.
"Nggak jelas, misal kalau laki-laki tapi lubang kencingnya nggak di ujung tapi di bawah. Kalau perempuan harusnya lubangnya 2, tapi kok hanya satu," tuturnya.
Agar tidak terlambat dalam mendiagnosis, dr Nanis menyarankan untuk setiap tenaga medis, baik dokter anak maupun bidan harus betul-betul teliti dalam menentukan jenis kelamin bayi. Jika terdapat ketidaksesuaian, diharapkan segera melakukan pemeriksaan, yaitu dengan analisis kromosom.











































