Hal tersebut dipaparkan oleh ahli gizi klinis, dr Diana F Suganda, MKes, SpGK baru-baru ini. Ia mencontohkan kasus Aria Permana, bocah 13 tahun asal Karawang yang sempat heboh karena bobotnya nyaris mencapai dua kuintal.
dr Diana sempat menangani Aria pada awal-awal penanganan. Saat kelas 2 SD, Aria mencapai bobot hingga 90 kg, namun orang tuanya membiarkan dirinya karena bagi mereka kegemukan itu tidak masalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana mengetahui anak-anak telah mencapai kategori obesitas walau tak terlihat super gemuk? dr Diana menyebut bisa mengecek ke posyandu, rumah sakit atau puskesmas yang lebih memahami. Atau mengacu pada kurva tumbuh kembang yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kurva tumbuh kembang anak laki-laki dalam standar WHO. Foto: World Health Organisation |
Pada usia 12 bulan, anak-anak normalnya memiliki berat tiga kali lebih banyak dari berat badan saat lahir. Misalnya jika lahir dengan berat badan 3 kilogram, maka normalnya pada usia 12 bulan ia memiliki berat 9 kilogram, di atas itu maka ia akan masuk dalam kurva merah alias berat badan berlebih.
"Dan jangan mindset anak gemuk itu sehat. Dan nggak selalu anak yang terlihat kurus itu nggak sehat. Jadi memang bukan hanya chubby-chubby lucunya aja, tapi Anda harus melihat bener-bener di kurva pertumbuhan itu anak ada di mana? Tinggi berapa, berat badan berapa," imbuhnya.
dr Diana mengimbau para orang tua untuk tidak mengabaikan status gizi sang anak, apalagi jika masih dalam masa pertumbuhan. Mau gemuk ataupun kurus, jika sang anak masih berada dalam kurva hijau maka ia masih tergolong sehat.
Namun soal obesitas ini dr Diana menegaskan bahwa bayi yang terlahir normal dan bayi prematur memiliki kurva yang berbeda. Karena tidak dapat 'dideteksi' dengan kasat mata, sebaiknya konsultasikan dengan dokter anak maupun dokter gizi.
(frp/up)












































Kurva tumbuh kembang anak laki-laki dalam standar WHO. Foto: World Health Organisation