Meskipun hal tersebut merupakan langkah yang cukup baik, namun menurut Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr dr Agus Dwi Susanto, SpP(K), foto rontgen paru-paru belum cukup membuktikan bahwa paru-paru mereka baik-baik saja. Karena ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan vape tidak tampak pada rontgen.
"Kalau mau deteksi dini pada pengguna awal itu tidak hanya bisa dengan foto thoraks (rontgen). Kita harus periksa lebih detail mulai dari fungsi paru, fungsi jantung, imaging yang lebih canggih seperti CT scan, bahkan pemeriksaan tingkat seluler. Karena perubahan tingkat sel di saluran napas itu pada fase awal tidak bisa dideteksi dengan foto thoraks," katanya saat ditemui detikcom di Kantor PDPI, Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (26/11/2019) lalu.
Menanggapi tantangan dr Agus, Andika Widhi dari komunitas Hexohm Indonesia mengatakan bahwa setuju lebih baik melakukan pemeriksaan lebih detail seperti CT scan, namun ia meminta untuk difasilitasi yang sekaligus bisa digunakan sebagai bahan penelitian para ahli di Indonesia.
"Harusnya cek yang lengkap jantung, CT scan, apa gitu. Saya juga setuju, tapi saya nggak mampu untuk ke sana, nggak semua vapers mampu melakukan CT scan apa segala macam. Tapi kalau kami difasilitasi ke sana ayo, boleh, kami berani," ungkapnya kepada detikcom, Kamis (28/11/2019).
Ia dan vaper yang lain sangat terbuka jika para ahli dan pemerintah mau melakukan kajian atau penelitian soal dampak vape pada kesehatan, mengingat sangat minimnya penelitian soal vape di negara ini. Dika pun, sapaan akrabnya, mengaku terbuka jika ada yang mau dampak vape pada tubuhnya.
Dika merasa bahwa vape telah menjadi alat alternatif untuknya berhenti merokok. Ia juga mengaku daya tahan tubuhnya lebih meningkat saat ia mengonsumsi vape ketimbang saat ia merokok.
"Kalau vape dibandingkan dengan orang yang nggak nge-vape atau ngerokok ya nggak bisa, tapi kalau vape dibandingkan dengan yang ngerokok ya jauh lebih baik," pungkasnya.
Simak juga wawancara eksklusif dengan pemakai vape berikut ini: