Namun menurut psikolog anak dan keluarga dari Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, netizen seharusnya tidak menghakimi orang yang merawat orang sakit atau disebut caregiver dengan sekedar mengatakannya kurang bersabar. Bisa jadi ada permasalahan lain yang melatarbelakanginya.
"Bisa jadi memang ada masalah di caregiver itu. Atau selama ini ada masalah dalam hubungan mereka. Contohnya (bukan tuduhan, harus dicari tahu lebih lanjut), kalau selama ini ternyata si caregiver mendapat kekerasan dari pasien, mungkin yg dilakukannya adalah balas dendam. Bukan tentang kesabaran kan issuenya," kata Nina, sapaan akrabnya melalui pesan singkat kepada detikcom, Rabu (18/12/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan yang dikatakan Nina, psikolog klinis dari Personal Growth Veronica Adesla pun mengatakan bahwa caregiver utama harus didukung oleh caregiver lain. Selain itu, bergabung dalam komunitas caregiver pun dapat mengurangi beban.
"Komunitas penting banget. Dengan komunitas, sesama caregiver bisa saling bercerita, sama-sama merasakan merawat orang sakit. Beda lagi kalau cerita sama orang yang bukan caregiver apalagi tingkat empatinya kurang, malah di-judging (dihakimi)" ungkapnya.
"Sudah capek ngurusin tapi nggak diapresiasi. Ngeluh capek, tapi dibilang 'itu kan tanggung jawab lo'" lanjut Vero.
Penghakiman atau judge dari orang lain dapat memperparah tingkat stres si caregiver. Agar tidak semakin parah, caregiver harus memiliki waktu break atau waktu istirahat di sela merawat orang sakit.
Tanda-tanda caregiver harus rehat sementara jika:
- Kehilangan kesabaran
- Mudah sekali marah
- Mudah tersinggung
- Lebih sensitif
- Merasa mudah lelah
- Merasa tidak memiliki hidupnya sendiri
Punya pengalaman suka-duka merawat keluarga yang sedang sakit kronis? Tuliskan di kolom komentar.
(wdw/up)











































