Pasien positif COVID-19 memiliki gejala yang beragam, dari gejala yang berat hingga gejala kritis. Ada satu gejala yang belakangan kerap disebut-sebut, yakni happy hypoxia.
Dokter sekaligus penyintas COVID-19 Twindy Rasati mengungkapkan proporsi pasien COVID-19 yang kritis di Indonesia jumlahnya melebihi negara-negara lain. Hal itu menyebabkan tingginya urgensi pemakaian ruang ICU dan ventilator.
"Ruang ICU dan alat pernapasan dibutuhkan hanya sesuai indikasi, memang tidak semua pasien jatuh ke kondisi critical state yang hingga ujung-ujungnya membutuhkan ventilator dan perawatan di ICU," ujar Twindy dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 di YouTube, Senin (23/11/2020).
"Tapi pasien-pasien yang critical state ini ternyata lumayan banyak kalau dibandingkan dengan prevalensi di negara-negara lain," tambahnya.
Apa penyebab pasien tak menyadari happy hypoxia dan bagaimana akibatnya?
Twindy menjelaskan banyak pasien COVID-19 di Indonesia yang merasa sehat-sehat saja tidak menyadari jika dirinya sedang mengalami happy hypoxia.
"Salah satunya mungkin karena tidak terdeteksi dari awal jadi ada banyak pasien yang merasa 'oh saya sehat-sehat saja' ternyata sudah timbul happy hypoxia terlebih dahulu di rumah," jelasnya.
Ia menuturkan jika pasien datang dan langsung menuju ICU maka penangannya pun akan lebih sulit karena kondisinya yang sudah buruk.
Menurut ahli paru dari RS Persahabatan, dr Erlang Samoedro, SpP, happy hypoxia merupakan kondisi penurunan kadar oksigen yang berkaitan dengan paru-paru namun tidak disadari pasien COVID-19.
"Penurunan oksigen di dalam darah tidak diikuti oleh rangsangannya, tidak sampai ke otak, jadi orangnya tidak sadar bahwa dia kadar oksigennya kurang," jelas dr Erlang.
Pasien happy hypoxia biasanya tidak merasakan sesak napas, namun pada kondisi tertentu pasien bisa tiba-tiba sesak napas yang berakibat fatal.
Simak Video "99% Warga RI Kebal Covid-19, Kemenkes: Kuncinya Kelengkapan Vaksin"
[Gambas:Video 20detik]
(up/up)