Mutasi E484K atau 'Eek' disebut-sebut berpotensi menular lebih cepat. Ditambah, efikasi vaksin COVID-19 yang ada kini dikhawatirkan tak mempan melawan E484K.
Pakar mikrobiologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo menjelaskan, virus memang berevolusi sehingga kemunculan mutasi baru adalah normal. Begitu pun virus Corona, tak heran jika seiring waktu terus-menerus bermutasi.
"Untuk mengatakan E484K cepat menular, itu penelitiannya tidak mudah. Secara practical, justru kepentingan kita tidak perlu mengetahui varian muncul seberapa cepat. Apa pun varian yang muncul, gejala kelihatannya itu-itu saja," jelas Ahmad dalam webinar, Jumat (9/4/2021).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama basis mutasi masih SARS-CoV-2, maka gejala yang timbul pada infeksi E484K tidak akan jauh lebih parah dibanding infeksi oleh mutasi yang sudah ditemukan sebelumnya.
Jika E484K menyebabkan gejala berat pada pengidap komorbid dan lansia, maka risikonya sama dengan mutasi Corona lainnya. Yang perlu dikhawatirkan adalah ada atau tidaknya risiko gejala berat infeksi E484K pada anak-anak.
"So far melihat yang mengalami gejala COVID berat adalah pengidap komorbid dan lansia, itu nggak berubah. Kecuali pertanyaannya varian tertentu ini bisa menyerang sampai anak-anak SD atau SMP. Secara global, risiko mereka bergejala berat itu jauh lebih kecil. Tapi kalau E484K ini bikin gejala seperti lansia (pada anak-anak), itu baru kita perlu concern," terang Ahmad lebih lanjut pada detikcom.
Hingga kini, belum ada kepastian soal efikasi vaksin COVID-19 terhadap mutasi Corona E484K. Ahmad menegaskan, satu-satunya cara untuk menghadapi kondisi serba tidak pasti seputar E484K adalah penerapan protokol kesehatan dan perluasan tracing.
"Sejauh ini faktor risikonya masih sama. Perlu kita belajar, tapi jangan panik karena kita masih punya 5M, prokes, dan 3T (testing, tracing, treatment). Ini masih virus yang sama," pungkas Ahmad.
(vyp/up)











































