Baru-baru ini, terapi aaPRP (autologus activated platelet-rich plasma) ramai diperbincangkan sebagai terapi pasien COVID-19. Metode ini diperkenalkan oleh dr Karina F Moegni, SpBP, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) yang kini mengepalai HayandraLab dari Klinik Hayandra.
Dihubungi detikcom, dr Karina menjelaskan bahwa pada dasarnya aaPRP adalah konsentrat protein yg berasal dari dalam trombosit. Di dalamnya terkandung lebih dari 1.000 jenis protein, seperti protein anti radang, pembangun, dan anti bakteri.
Terapi ini dilakukan dengan cara mengambil darah pasien, dengan tabung darah yang disiapkan khusus oleh HayandraLab. Kemudian, trombosit dipisahkan dipecah dengan zat khusus yang disiapkan HyandraLab. Protein yang keluar dari trombosit dimasukkan ke dalam cairan infus dan diberikan pada pasien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Protein anti radang dapat menanggulangi badai sitokin pada COVID-19 dan di saat yang bersamaan, tubuh membangun sel-sel yg dirusak virus (misalnya sel paru) dengan protein pembangun," paparnya saat dihubungi detikcom, Senin (9/8/2021).
"Anti bakteri pada aaPRP dapat membantu melindungi tubuh dari serangan bakteri, saat tubuh sedang melemah karena bertarung melawan virus.
Semakin cepat COVID teratasi dan semakin cepat sel-sel tubuh yang rusak dibangun kembali, semakin kecil risiko terjadinya gejala sisa (sekuele) pasca COVID," lanjutnya.
Menurutnya, terapi ini aman dilakukan berkali-kali lantaran berasal dari tubuh sendiri dan prosesnya tidak menggunakan zat dari hewan. Frekuensi terapi bergantung pada tingkat keparahan gejala pasien COVID-19.
Ia memaparkan, pada pasien tanpa gejala (OTG) dan ringan, biasanya terapi cukup 1 kali. Pada gejala ringan namun gejala lambat menghilang, biasanya 2 kali. Pada pasien bergejala sedang yang dirawat di rumah sakit, umumnya 2-3 kali. Sedangkan pada pasien bergejala berat hingga kritis dengan bantuan alat untuk bernapas atau dirawat di ICU, umumnya 3-5 kali.
"aaPRP pernah diberikan di RS sampai 9x pada pasien berat kritis di ICU. Jarak pemberian aaPRP bisa setiap hari ataupun selang 1 hari, tergantung juga dari seberapa cepat pasien membaik," beber dr Karina.
Catatan dari pakar
Inovasi ini tidak luput dari kontroversi. Lantaran masih dalam tahap riset, para pakar mengingatkan untuk tidak buru-buru overklaim dan mempublikasikan manfaat yang belum teruji.
Salah satu catatan yang diberikan adalah soal efeknya terhadap badai sitokin. Para pakar yang antara lain mencakup Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Indonesia (PDS Patklin) menyebut trombosit tidak menghasilkan growth factor dan sitokin sendiri.
"Jadi bila pasien dalam keadaan badai sitokin maka sitokin banyak tersimpan dalam trombosit yang bila dipecah maka akan keluar dalam pembuluh darah," demikian kutipan hasil diskusi yang sempat viral, dan telah dikonfirmasi oleh Prof Dr dr David Perdanakusuma, SpBP-RE(K) dari Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Rekonstruksi dan Bedah Estetik Indonesia (PERAPI). Prof David menjadi moderator dalam diskusi tersebut.
(vyp/up)











































