5 Fakta Vaksin 'Nusantara' Terawan di Jurnal Internasional

ROUND-UP

5 Fakta Vaksin 'Nusantara' Terawan di Jurnal Internasional

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Sabtu, 28 Mei 2022 06:34 WIB
5 Fakta Vaksin Nusantara Terawan di Jurnal Internasional
Mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto. (Foto: Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta -

Terawan Agus Putranto mengumumkan jurnal vaksin Nusantara sudah dimuat secara internasional dalam tulisan bertajuk 'Dendritic cell vaccine as a potential strategy to end the Covid-19 pandemic, Why should it be Ex Vivo?', dirilis dua hari lalu Kamis (26/5/2022).

Seperti diketahui, vaksin Nusantara menggunakan teknologi berbasis sel dendritik. Dalam jurnal tersebut, para peneliti menjelaskan alasan vaksinasi sel dendritik bisa mencegah COVID-19.

"Sel dendritik (DC) dapat menginduksi kekebalan sel T yang kuat. Selain itu, sel dendritik juga memainkan peran penting dalam patogenesis COVID-19, menjadikannya target vaksinasi potensial," demikian klaim para peneliti, dikutip dari jurnal ilmiah yang diterbitkan Taylor and Francis Online, Sabtu (28/5/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Vaksin Nusantara sebelumnya memicu kontroversi lantaran tersendat izin uji klinis dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI). Apakah dirilisnya jurnal internasional vaksin Nusantara menjawab keraguan penelitian?

Berikut sederet fakta jurnal internasional vaksin Nusantara.

ADVERTISEMENT

1. Antibodi diklaim tahan bertahun-tahun

Peneliti menyebut alasan dipilihnya pendekatan dendritik untuk vaksin COVID-19 ialah SARS-CoV-2 menyebabkan disfungsi sel dendritik. Selain itu, sel dendritik bisa menghasilkan respons sel T yang kuat, bahkan berlangsung lebih lama dibandingkan respons humoral atau alamiah yakni 10 bulan setelah terinfeksi.

"Menariknya, penelitian tentang SARS-CoV menunjukkan bahwa respons sel T memori terhadap virus dapat bertahan hingga 17 tahun setelah infeksi," sebut mereka.

Selanjutnya, vaksin dendritik juga disebut bisa menunjukkan respons sel T pada semua variant of Concern.

"Vaksin berbasis dendritik juga dapat menginduksi imunitas spektrum yang lebih luas. Bukti menunjukkan bahwa respon sel T memori tetap efektif melawan varian baru Corona. Vaksin dendritik juga dapat menimbulkan respons seperti itu. Vaksinasi dendritik sangat cocok untuk memerangi virus dengan tingkat mutasi tinggi seperti SARS-CoV-2 atau COVID-19," katanya.

2. Vaksin individual

Vaksin dendritik bersifat spesifik dan hanya bisa diberikan secara individual. Hal ini dikarenakan prosesnya, setiap orang akan diambil sampel darah untuk kemudian dipaparkan dengan kit vaksin yang dibentuk dari sel dendritik. Lalu, sel yang sudah mengenal antigen bakal diinkubasi selama 3-7 hari.

3. Biaya produksi

Para ahli mengakui ada banyak tantangan di balik pengembangan vaksin Nusantara untuk COVID-19 yakni salah satunya biaya produksi relatif tinggi. Meski begitu, mereka meyakini biaya tersebut 'setara' dengan kemanjuran vaksin yang dinilai bisa memicu antibodi dalam jangka waktu panjang.

"Vaksin Nusantara berpotensi menghasilkan kekebalan jangka panjang dan mungkin nantinya tidak perlu vaksinasi booster, sehingga dalam jangka panjang total biaya produksi dan distribusi vaksin dendritik dapat dibandingkan dengan vaksin konvensional," demikian sebut para peneliti.

NEXT: Komentar Pakar

Saksikan juga Viral: Mantan Personel JKT48, Kini Jual Nasi Bakar Ludes 150 Porsi Dalam Sehari

[Gambas:Video 20detik]



4. Respons Pakar

Jurnal internasional vaksin Nusantara tak lepas dari kritik beberapa pakar. Misalnya ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo yang menyebut artikel tersebut hanya menjelaskan gagasan di balik penelitian vaksin dendritik untuk COVID-19.

"Yang dituntut publikasi oleh masyarakat ilmuwan itu bukan publikasi ide, tapi publikasi hasil penelitian praklinis sebagai justifikasi uji klinis pada manusia," kata Ahmad saat dihubungi detikcom, Jumat (27/5/2022).

Adapun hasil klinis yang dijelaskan para peneliti vaksin Nusantara disebut Ahmad terlalu menitikberatkan aktivitas imunitas seluler atau sel T. Menurutnya, perlu adanya penelitian praklinis pada hewan.

"Pertanyaannya, apakah cukup hanya sel T saja?" kata Ahmad.

"Itu yang perlu dibuktikan dulu dengan penelitian praklinis yaitu pada hewan coba dengan menggunakan uji tantang," jelasnya.

5. Kritik Nama Nusantara

Sementara pakar epidemiologi Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia menyebut nama vaksin Nusantara sebaiknya tidak dimunculkan lantaran khawatir memicu kesalahpahaman di masyarakat.

"Perlu merubah namanya bukan vaksin Nusantara, karena menjadi misleading atau misinterpretasi yang seakan-akan itu sudah Nusantara," katanya kepada detikcom, Jumat (27/5/2022).

"Ini kan vaksin dendritik ini kan review-nya sudah banyak, sudah bukan kita pioner dalam hal ini. Ini bukan inovasi Indonesia, bukan. Ini adalah advance untuk melihat bagaimana potensi dari vaksin ini untuk COVID-19," sambungnya.

Saksikan juga Viral: Mantan Personel JKT48, Kini Jual Nasi Bakar Ludes 150 Porsi Dalam Sehari

[Gambas:Video 20detik]



Halaman 2 dari 2
(naf/naf)

Berita Terkait